khatamanDua puluh sembilan tahun kedepan, yaitu pada tahun 2045, merupakan tahun istimewa karena tahun keseratus sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut M. Nuh (2012), pada tahun 2045, Indonesia mendapatkan bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua yaitu 45-54 tahun dimana usia tersebut adalah usia emas atau usia matang.

Sayangnya, potensi tersebut ini hanya terjadi sekali saja dalam siklus jumlah penduduk suatu negara, sehingga jika kondisi ini dikelola dengan baik, maka dapat menjadi sebuah berkah untuk Indonesia. Namun, jika dikelola dengan buruk, masa bonus demografi tersebut akan terlewati dengan sia-sia, dan setelah itu jumlah orang tua lebih banyak dari pada pemudanya sehingga bisa jadi negara kita tidak mendapatkan apapun dari masa itu.

Pertanyaan besar yang terbesit adalah siapa dari mereka yang akan menjadi pemimpin-pemimpin di tahun Indonesia Emas 2045? Merujuk dari usia emas yang disebutkan oleh M. Nuh (2012) dan berdasarkan perhitungan sederhana, para calon pemimpin menuju Indonesia Emas 2045, adalah penduduk Indonesia yang saat ini pada tahun 2016 masih berusia antara 10 hingga 24 tahun. Usia tersebut adalah mereka yang mengenyam pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA (2013), jumlah penduduk Indonesia yang berusia 10-24 tahun, ada sekitar 66.307.100 jiwa. Berarti akan ada sangat banyak calon pemimpin Indonesia yang berpotensi dari jumlah tersebut.

Dalam rangka mendapatkan pemimpin untuk mencapai Indonesia Emas 2045, maka dibutuhkan karakter pemimpin yang memiliki kompetensi masa depan. Pemimpin ideal yang terlahir dari generasi cerdas adalah generasi yang mampu menjawab tantangan dan memberikan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat, bangsa, atau bahkan dunia ini. Sosok inilah yang nanti akan menjadi public figure bagi generasi pada masanya atau bahkan setelahnya. Adapun generasi yang diinginkan itu adalah sesosok generasi yang berkarakter rabbani.

Ya. Generasi yang berkarakter rabbani-lah jawabannya. Istilah ‘generasi rabbani’ sering kita jumpai menghiasi jaket-jaket para mahasiswa yang menjadi aktivis Islam. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan generasi rabbani itu? Adakah contohnya di zaman sekarang ini? Untuk menjawab semua pertanyaan itu marilah kita tengok sebentar sebuah ayat yang ada di dalam Al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 79.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”.(QS. Ali ‘Imran : 79).

Dari ayat tersebut kita sebenarnya sudah bisa menarik kesimpulan siapa aja yang sebenarnya dimaksud sebagai sosok generasi yang berkarakter rabbani itu. Generasi Rabbani adalah generasi yang senantiasa belajar Al Kitab (baca: Al-Quran). Tak hanya sekedar mempelajarinya. Namun, mereka juga mengajarkannya kepada sesamanya atau generasi yang lain. Itulah sosok generasi yang akan mampu menjawab tantangan, memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi umat, dan menjadi public figure bagi generasi pada masanya dan bahkan setelahnya.

Terkait generasi yang berkarakter rabbani ini, ada sebuah penafsiran yang menarik dari sesorang tokoh yang bernama Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari [wafat: 310 H]. Beliau berkata (setelah menyebutkan pendapat ulama tentang makna Rabbani):

وأولى الأقوال عندي بالصواب في”الربانيين” أنهم جمع”رباني”، وأن”الرباني” المنسوب إلى”الرَّبَّان”، الذي يربُّ الناسَ، وهو الذي يُصْلح أمورهم، وكان العالم بالفقه والحكمة من المصلحين، يَرُبّ أمورَ الناس، بتعليمه إياهم الخيرَ، ودعائهم إلى ما فيه مصلحتهم.

ف”الربانيون” إذًا، هم عمادُ الناس في الفقه والعلم وأمور الدين والدنيا. ولذلك قال مجاهد:”وهم فوق الأحبار”، لأن”الأحبارَ” هم العلماء، و”الرباني” الجامعُ إلى العلم والفقه، البصرَ بالسياسة والتدبير والقيام بأمور الرعية، وما يصلحهم في دُنياهم ودينهم. (تفسير الطبري – ج 5 / ص 530 – 531)

Artinya: “Pendapat yang paling benar menurutku adalah bahwasanya Rabbaniyyun merupakan jamak dari kata ‘rabbani’ yang dinisbatkan dengan ‘al-rabbani’, yang berarti orang yang mentarbiyah (mengkader) manusia, dan yang senantiasa memperhatikan dan memberikan solusi atas seluruh bidang kehidupan mereka … bersamaan dengan sifat ini, ia juga merupakan seorang ahli fiqh (ulama) dan hikmah dari kalangan mushlihin, selalu memperhatikan semua bidang kehidupan manusia, dengan mengajarkan mereka kebaikan (ilmu), dan menyeru kepada maslahat kehidupan mereka …”. Beliau juga berkata: “Rabbaniyyun adalah orang-orang yang menjadi sandaran manusia pada masalah fiqih, ilmu, dan mencakup perkara agama dan perkara dunia, … dan makna Rabbani adalah orang yang mengumpulkan antara ilmu dan fiqh serta pengetahuan tentang masalah siyasah (politik), tadbir (pengorganisasian), dan memperhatikan problem-problem penduduk, dan perbaikan kehidupan mereka baik dari segi dunia maupun agama.” [Tafsir Ath Thabari, 5/530-531]

Dari penafsiran diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa generasi yang berkarakter rabbani itu memiliki 5 (lima) karakter yang sangat khas. Kelima karakter itu terhimpun dalam satu tubuh. Mereka saling mendukung satu sama lain. Karakter yang pertama adalah berilmu dan cerdas (berwawasan),  kedua adalah memahami Islam dengan baik (generasi yang faqih), ketiga adalah mempunyai pengetahuan dan faham tentang politik, keempat adalah memahami aspek manajemen dengan baik, kelima adalah mampu menjalankan semua urusan umat. Tentunya yang mendatangkan kemashlahatan bagi umat, baik dalam urusan dunia atau akhirat.

Demikianlah calon generasi yang mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu dibutuhkan peran pendidik untuk terus menerus melakukan perbaikan kualitas diri secara berkelanjutan. Karena kunci perubahan yang baik terletak pada pendidikan dan upaya generasi mudanya, maka upaya peningkatan kualitas berkelanjutan ini tentunya sangat menguntungkan peserta didik yang merupakan calon pemimpin Indonesia Emas pada tahun 2045 kelak. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki pernah berpesan bahwa menjadi seorang guru (pendidik) bukan dengan warisan, akan tetapi belajar dan terus belajar. Dengan adanya guru yang profesional dan berkualitas maka akan mampu mencetak anak bangsa yang berkualitas pula. Kita yakin bahwa pendidik dengan kualitas terbaik akan menjamin tercapainya harapan bangsa Indonesia yakni Indonesia Emas.