KH. Ali Maksum adalah putra pertama dari seorang ulama besar yakni KH. Maksum bin KH. Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH. Muhammad Zein Lasem. Keluarga KH. Ali Maksum adalah keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Ia lahir pada tanggal 2 Maret 1915 M di Desa Soditan Lasem, Kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembangkan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan bid’ah, dan sulit diajak untuk maju.

KH. Ali Maksum, menurut KH. Mustofa Bisri Rembang, merupakan satu-satunya kyai yang dipanggil bapak oleh semua santri, saking sayangnya terhadap para santri-santrinya. KH. Ali Maksum telah tercatat sebagai sosok yang mempunyai peran besar dalam meneruskan perjuangan mertuanya, KH. M. Munawwir (Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta tahun 1910 M). Sepeninggal KH. M. Munawwir dan Putra-Putranya, KH. Ali Maksum lah yang dianggap paling berwibawa dan pintar untuk mengelola Pondok Pesantren tersebut. Sehingga KH. Ali Maksum diangkat sebagai pimpinan Pondok Pesantren krapyak pada tahun 1968 M. Di bawah kepemimpinannya Pesantren Krapyak mengalami kemajuan yang pesat khususnya di bidang pendidikan Agama Islam. Dengan didirikannya Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah, Taman Kanak-Kanak, Pendidikan Al-Quran bil Hifdzi (menghafalkan Al-Quran), Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) serta kegiatan-kegiatan para santri dan kemasyarakatan lainnya. Keberhasilan KH. Ali Maksum tidak hanya ditunjukkan didalam pesantren saja. Pengabdian dan karya baktinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara mengukir sejarah nasional yang tidak akan terlupakan. KH. Ali Maksum pernah menjabat sebagai Rais ‘Amm Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Kepemimpinannya tercatat sebagai periode yang menghantarkan Nahdlatul Ulama kembali ke tujuan semula (khittah 1926) Nahdlatul Ulama.

Perjalanan Keilmuannya

Keluarga KH. Ali Maksum, sejak dari zaman kakek-kakeknya dahulu sampai zamannya merupakan keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. Sejak kecil, KH. Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu, Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’. Ayahnya yakni KH. Maksum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih, sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri, terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian belajar beberapa waktu di pondoknya KH. Amir di Pekalongan.

Setelah memasuki usia remaja (usia 12 tahun), ayahnya berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kyai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH. Dimyati yang memimpin Pesantren Tremas Pacitan. Oleh KH. Dimyati, KH. Ali Maksum tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH. Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH. Dimyati kepada KH. Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH. Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH. Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH. Dimyati sendiri menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH. Maksum di Pesantren Al-Hidayah Lasem.

KH. Ali Maksum, nampak paling menonjol di antara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.

Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH. Habib Dimyati, bahwa KH. Ali Maksum setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan pesantren. KH. Ali Maksum sering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka.   Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak berguru kepada KH. Ali Maksum dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Quran sedangkan yang dipelajari KH. Ali Maksum bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kyainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya. Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kyai di beberapa pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya.  Kitab-kitab para pembaharu tersebut diperoleh KH. Ali Maksum dari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji.

KH. Ali Maksum sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Quran, yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemuka di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, KH. Ali Maksum sangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan” untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah yang mengantarkan KH. Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.

Kegemaran lain KH. Ali Maksum di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara intens syair-syair dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika menjadi seorang ulama besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan syair-syair tersebut.

Di kalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, KH. Ali Maksum adalah “simbol keteladanan”. Ia bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Di antaranya adalah ide  dari KH. Ali Maksum tentang perlunya menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH. Dimyati, karena trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH. Dimyati mengizinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan KH. Ali Maksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh KH. Ali Maksum, yang ketika itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih dan lain-lain.

Setelah KH. Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.

Mengajar di Pesantren Al Hidayah, Lasem

Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935 M, KH. Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH. Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip Al-Muhafazhatu ‘alal Qadimis Shalih, Wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Latar belakang kehidupan keilmuan KH. Ali Maksum yang dinamis, berwawasan yang sangat luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang multidisipliner, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut, sedikit banyak tentu mempengaruhi pendidikan dan pengajaran yang diberikannya kepada para santri. Tidak mengherankan jika para alumni yang pernah mendapatkan didikan dari KH. Ali Maksum tidak sedikit yang menjadi tokoh masyarakat, intelektual, dan pengasuh atau pendiri pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi.

Para santri alumni didikan KH. Ali Maksum antara lain: Prof. DR. KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Mantan Menteri Agama RI), KH. A. Mustofa Bisri (Rembang), KH. M Cholil Bisri (Rembang), KH. Maksum Ahmad (Sidoarjo), KH. A. Masduqi Mahfudh (Malang, Mantan Rois Syuriyah PWNU Jatim) KH. Abdul Aziz Masyhuri (Jombang), KH. A. Asrori Usman Al-Ishaqi (PP Al-Fithroh Surabaya, Mursyid Thoriqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah), KH. Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf,  Prof. DR. KH. Said Agiel Siroj, MA, KH. Drs. Muh. Hasbullah SH, KH Drs. Masyhuri AU, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abidin Munawwir, KH. Ahmad Warson Munawwir (Penulis Kamus Al-Munawwir), KH. Drs, Asyhari Abta, KH. Munawwir AF, KH. Drs. Henry Sutopo, KH. Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA.,  Drs. H. As’ad Said Ali (Mantan Waka BIN, Waketum PBNU), dan lain-lain.

KH. Ali Maksum memang dikenal mempunyai sistem dan strategi yang sangat efektif dalam melakukan kaderisasi. A. Zuhdi Muhdlor, salah satu santrinya yang menulis biografinya menjelaskan bahwa KH. Ali Maksum mewajibkan adanya kaderisasi dalam semua hal umat Islam, termasuk NU. Bahkan, beliau mengibaratkan pentingnya kaderisasi itu sama pentingnya dengan sholat sunah rawatib yang muakkad. Jadi, kalau orang itu hanya melakukan sholat wajib (fardhu), tidak memiliki sholat sunah, ya, sholatnya banyak kekurangan, banyak bolong-bolong. Karena sholat sunah itu yang akan menyempurnakan.

Diboyong ke Krapyak            

Sepeninggal KH. M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan keluarga, kepemimpinan pesantren kemudian diambil oleh kakak beradik, KH. R. Abdullah Afandi Munawwir dan KH. R. Abdul Qodir Munawwir. KH. R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggungjawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan hubungan dengan luar pesantren dan KH. R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penaggungjawab dalam urusan pengajaran Al Qur’an.

Akan tetapi, kondisi pesantren kurang kondusif. Belum genap 100 hari wafatnya KH. M. Munawwir satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren sehingga jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren.

Untuk mengatasi kondisi ini, musyawarah bani Munawwir akhirnya memutuskan untuk mengirim delegasi menemui Kyai Ali Maksum di Lasem agar bersedia di boyong ke Krapyak. Ajakan tersebut awalnya ditolak oleh Kyai Ali Maksum. Beberapa bulan kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah Nyai Sukis (Istri KH. M. Munawwir, ibu mertua Kyai Ali) dengan didampingi KH. R. Abdullah Afandi Munawwir. Akhirnya Kyai Ali Maksum menerima ajakan tersebut.

Wafat dan Karya Monumentalnya

Seiring waktu berjalan, KH. Ali Maksum kemudian jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17. 55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember/15 Jumadil Awwal 1989 M dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KH. M Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.  Ia wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 6 orang putra-putri serta meninggalkan warisan berharga bagi umat Islam yakni: Lembaga pendidikan yang begitu besar (madrasah dan lain-lain), yang pada masa selanjutnya dikelola oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta pimpinan KH. Atabik Ali; dan Karya tulis yang meliputi:

  1. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq;
  2. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum;
  3. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, berisi kajian dalil-dalil atau argumentasi syar’iyyah yang dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi ke-NU-an;
  4. Jawami’ul Kalim: Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala huruf hijaiyyah ka ashliha,  berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir;
  5. Ajakan Suci: Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama
  6. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan KH Ali Maksum.
  7. Risalah Ramadhan

Diambil dari berbagai sumber