Bulan Rabiul Awwal adalah bulan yang istimewa untuk kaum muslimin, sebab pada bulan itu sang pembawa kasih sayang terlahir di dunia ini. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang paling utama serta sebagai penutup para nabi dan rasul. Rasulullah SAW menuntun manusia menuju kebenaran dengan perdamaiaan dan kasih sayang.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)
Ayat di atas secara jelas mengabarkan bahwa Allah SWT telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam, tidak untuk orang mukmin saja. Barang siapa yang menerima dan bersyukur atas kenikmatan ini, niscaya ia akan bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi orang yang mengingkarinya, ia akan merugi baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:
– 29 – أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ – 28 – جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang Telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman”. (QS. Ibrahim : 28-29)
Bentuk rahmat Nabi Muhammad SAW terhadap orang-orang mukmin adalah ketika beliau diutus di muka bumi ini, manusia masih dalam keadaan tersesat, tidak mengetahui petunjuk yang benar. Ahli Kitab pun juga berada pada kebingungan tentang urusan agama mereka sebab banyak sekali perbedaan yang mereka temukan dalam kitab-kitab mereka. Lalu lahirlah sang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, ia adalah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia menuju keselamatan, menyerukan perkara yang hak, dan membedakan yang halal dan yang haram. Rahmat ini akan diperoleh manakala seseorang berkeinginan besar untuk untuk mencari kebenaran, tidak takabbur, dan tidak bertaklid buta.
Adapun bentuk rahmat terutusnya Nabi Muhammad SAW bagi orang-orang kafir adalah mereka tidak ditumpas Allah seperti kaum-kaum terdahulu, tapi Allah menunda adzab mereka sampai mereka meninggal dunia atau sampai hari kiamat. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. Al-Anfal : 33)
Bukti lain tentang kasih sayang Rasullullah SAW terhadap orang-orang kafir adalah ketika beliau ditawari untuk mendoakan keburukan kepada kaum yang telah menyakitinya, beliau menolak. Bahkan, beliau berdoa kepada Allah SWT agar memberikan petunjuk kepada mereka dengan harapan keturunan mereka akan menjadi hamba-hamba yang menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya. Dalam Sahih Muslim juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW diminta untuk mendoakan keburukan kepada kaum musyrikin. Rasulullah SAW pun menjawab: “Sesungguhnya akau tidak diutus sebagai orang yang sering melaknat, tapi aku diutus sebagai rahmat”.
Sebagai seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah SAW tentunya akan merasa gembira dan penuh suka cita dalam menyambut kedatangan beliau. Al-Qur’an pun menganjurkan kita untuk meluapkan kegembiraan akan kedatangan sang pembawa rahmat yang mulia ini. Allah SWT berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus: 38)
Dalam menafsirkan ayat di atas, para mufassir memiliki beragam pendapat. Mengenai lafal فضل الله ada yang menafsirkan “al-Qur’an”, “ilmu” dan “Islam”. Sedangkan رحمته ditafsirkan “Islam”, “al-Qur’an”, dan Nabi Muhammad SAW. Dari berbagai pendapat tersebut secara esensial tidak ada yang bertentangan karena “Pedoman Islam adalah al-Qur’an, al-Quran berisi tentang ilmu, dan pembawa agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW ”.
Kegembiraan akan datangnya rahmat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan “greget” masing-masing orang, asal tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapaun salah satu cara yang populer “di kalangan santri khususnya” adalah meluapkannya dengan cara bersholawat. Kegembiraan dan kecintaan terhadap Rasulullah SAW dengan beraneka ragam redaksi sholawat bukanlah tanpa dasar, sebab Allah SWT telah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَـئِكَـتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِىِّ يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT selalu merahmati beliau, mengagungkan beliau, dan mengangkat derajat beliau. Begitu pula para malaikat, mereka juga selalu memintakan ampunan untuk beliau, memohon kepada Allah agar beliau mendapat derajat yang paling tinggi, memenangkan agama Islam di atas seluruh agama, dan melipatgandakan pahala ummat beliau.
Lafadz إِنَّ الله وملائكته يُصَلُّونَ عَلَى النبى dalam tinjauan bahasa dari sisi permulaannya berupa jumlah ismiyyah yang berfaedah untuk menunjukkan makna dawam (langgeng) dan istimror (terus-menerus) , sedangkan dari segi akhirannya berupa jumlah fi’liyyah yang berfaedah untuk menunjukkan makna tajaddud (selalu diperbaharui). Kesimpulannya adalah bahwa redaksi ini mengisyaratkan pujian dan pengagungan dari Allah terhadap Nabi Muhammad SAW selalu diperbaharui setiap waktu dengan langgeng.
Manusia yang merasa tersapa dengan seruan Allah SWT يا ايها الذين امنوا “Wahai orang-orang yang beriman” akan senantiasa mengagungkan Nabi Muhammad SAW, mengikuti syariat beliau, dan memperbanyak sholawat untuk beliau. Ini adalah hak beliau yang harus dipenuhi oleh setiap hamba yang beriman, sebab jasa beliau sangat besar terhadap ummat ini dengan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan dari kesesatan menuju petunjuk. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَىٰ عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِّيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” (QS. Al-Hadid : 9)
Keutamaan Sholawat
Keutamaan-keutamaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW sangat banyak sekali yang manfaatnya sesungguhnya kembali kepada kita sendiri. Diantaranya adalah:
- Orang yang mengucapkan sholawat dan salam kepada Rasulullah SAW, maka beliau akan menjawab salamnya, dan Allah SWT juga akan membalasnya dengan 10 kali lipat. Rasulullah SAW bersabda:
من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا. رواه مسلم
Artinya: “Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda:
ما من أحد يسلم عليَّ إلا رد الله عليَّ روحي حتى أرد عليه السلام. رواه أحمد وأبو داود
Artinya: “Tidak ada seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
- Orang yang paling banyak bersholawat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah Saw bersabda:
أولى الناس بي يوم القيامة أكثرهم علي صلاة. رواه الترمذي وقال حديث حسن
Artinya: “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku” (HR. Turmudzi, ia berkata: Hadis ini adalah hadis hasan).
- Sebab terkabulnya doa. Sa’id bin Musayyib meriwayatkan dari Umar bin Khoththob ra, beliau berkata:
الدعاء يحجب دون السماء حتى يصلى على النبي صلى الله عليه و سلم فإذا جاءت الصلاة على النبي صلى الله عليه و سلم رفع الدعاء
Artinya: “Doa akan terhalang di bawah langit sehingga seseorang bersholawat kepada Nabi SAW. Apabila sholawat telah sampai kepada Nabi SAW, maka doa diangkat (ke langit)”.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghozali menceritakan: Suatu ketika Abdul Wahid bin Zeid berangkat menunaikan ibadah haji dengan ditemani oleh seseorang yang selalu membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, baik ketika duduk, berdiri, bergerak, maupun diam. Maka Aku (Abdul Wahid bin Zeid bertanya kepadanya: “Kenapa kamu melakukan semua ini?” Dia menjawab: “Begini ceritanya, suatu hari aku pergiuntuk pertama kali menuju Makkah bersama ayahku, ketika singgah di suatu tempat aku ketiduran dan dalam tidurku aku merasa didatangi oleh seseorang dan ia berkata kepadaku: “Bangunlah! Allah telah mewafatkan ayahmu dan wajahnya berubah menjadi hitam”. Kemudian aku kaget dan langsung bangun, lalu aku membuka kainyang menutupi wajah ayahku, dan ternyata benar, beliau telah meninggal dan wajahnya berubah menjadi hitam. Setelah melihat hal ini, aku merasa takut. Ketika aku dalam keadaan yang sangat sedih ini, tiba-tiba mataku terasa sangat mengantuk hingga akhirnya aku tertidur. Dalam tidur itu, aku diperlihatkan bahwa di atas kepala ayahku ada empat orang hitam, masing-masing membawa sebuah tongkat. Tiba-tiba datang seorangdengan wajah yang amat rupawan dengan memakai gamis berwarna hijau dan mengatakan kepada empat orang hitam itu; ”Menyingkirlah kalian!” Kemudian ia mengusapkan tangannya ke wajah ayahku, lalu menghampiriku dan berkata: “Bangunlah! Allah telah memutihkan wajah ayahmua”. Aku bertanya kepadanya: “Siapakah engkau?. Ia menjawab : “Aku adalah Muhammad”. Setelah itu aku terbangun dan segera membuka kain penutup wajah ayahku. Dan ternyata wajahnya telah berubah menjadi putih. Semenjak itu, aku tidak pernah meninggalkan sholawat kepada Rasulullah SAW”.
Mengenai redaksi sholawat, hal ini sudah sangat masyhur dikalangan masyarakat. Namun, yang sering menjadi bahan perdebatan yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan adalah “hukum kebolehan menambah kata sayyid pada bacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW”. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i tambahan tersebut diberlakukan karena demi mengagungkan beliau dan karena lebih mengutamakan adab di atas perintah yang menyebutkan “Bacalah Allahumma sholli ala Muhammad …..”. Tetapi Imam Ahmad lebih mengutamakan mengikuti perintah di atas sopan santun, sekalipun Imam Ahmad sendiri selalu menambahkan kata sayyid. Beliau hanya bermaksud mengutamakan mengikuti sunnah, karena siyadah Rasulullah SAW sudah merupakan hal yang disepakati. Beliau adalah pemuka (sayyid) orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, di dunia maupun di akhirat. Wallahu A’lam