Tersebab mata Razi bengkak adalah selama dua hari penuh tidak tidur sama sekali. Persiapan menjadi pengurus di pesantren semakin menggiring dirinya menjadi santri yang unggul. Maklum, di angkatanku dia memang kandidat ketua umum organisasi. Matanya layu memang, wajahnya pucat, tapi semangatnya entah kapan surutnya.
Setahuku dan selama menjadi temannya sepanjang empat tahun di pesantren, dia memang lebih unggul skilnya daripada rekan-rekan yang lain. Multitalenta boleh disebut sepeti itu. Ah, tapi aku ingat maddah nushus yang dipelajari sejak awal masuk pesantren. Setiap orang pasti memiliki kelebihan masing-masing.
“Eh, anta[1] di DPS[2] yah. Jadi wakil ketua umum. Ketua umum DPP ana[3]. Nanti malam sowan perdana ke bapak kyai.”
“Loh kok jauh sekali dari persiapan. Bukannya ana jadi sekretaris yah?”
“Iya sudah diusulkan awalnya. Tapi keputusan bapak mudhir[4] tak bisa diganggu gugat.”
“Yasudah, nurut saja.”
Menjadi wakil ketua umum DPS, adalah hal berat. Membualkan bisa jadi. Legeslatif memang harus menjadi peengah antara eksekutif dan yudikaif, sekaligus mitra diantaranya. Kata senior seperti itu. Dan memang kenyataan yang kini benar-benar kurasakan. Tapi benar juga apa yang didawuhkan bapak kyai. Semua dan sepanjang apapun jabatannya di organisasi pasti memiliki nilai tarbiyah tersendiri.
Setelahnya, aku hanya berusaha menjadi wakil yang baik dan menjalani hari-hari sebagai pentolan legislatif. Tidak mudah memang, namun ternyata menyenangkan juga, meski menyisihkan banyak sekali cerita kelam.
Sayang seribu sayang, hati manusia suka berubah-ubah. Dan itu sulit dipungkiri. Berpura-pura dan hanya bersembunyi dibalik rasa keterpaksaan, membuat khidmahku menurun. Kinerja kurang baik dan tugas menempuk, malah hampir terbengkalai. Salah satun faktorya adalah gusarnya ketua umum DPS saat itu, para konsultan serta atasan juga barangkali. Lalu memutuskan agar lebih baik dicaut dari jabatan tersebut dan diganti oleh orang lain. Yanglebih bisa dipercaya daripada aku.
Awalnya merasa kurang baik dengan bapak mudhir, bisa dibilang membangkang ketentuan pesantren. tapi jika itu lebih baik untuk kemaslahatan umat, maka apa boleh buat.
“ACC bang!” Kata Razi kepadaku. Matanya seperti biasa, sedikit kuyu, ia jarang tidur malam.
“Haqqon[5]? Syukron ya.” Ucapku dari jauh.
“Hajjah khidmah[6] akhi…” Balasnya
“Ahlan” balasku.
Akhirnya, bapak mudhir mengizinkan juga untuk pindah jabatan dari wakil ketua DPS. Mengingat jabatan tersebut adalah salah satu posisi penting dari 6 ketua beserta wakil yang sulit untuk diganti.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, memang diriku kerap menjadi sekretaris kelas. Seingatku, kelas IV hingga masa putih merah berakhir, diriku menjadi sekretaris kelas. Di jenjang pendidikan SMP juga. Di OSIS, asrama, sama-sama menjadi sekretaris. SMA pun tiada berbeda. Di kelas juga menjadi sekretaris. Ketika menjabat menjadi pengurus organisasi santri juga menjadi sekretaris. Walau itu hanya beberapa saat di dua periode terakhir. Mengapa demikian. Memangnya apa enaknya menjadi sekretaris , menjadi juru tulis, bukankah itu lebih membualkan. Maka kisahnya akan kuceritakan saat ini.
***
“Akhi, belum tidur?” tanya Fahmi. Kolega sejak kecil yang hingga kini masih satu almamater denganku.
“Banyak kerjaan genk.”
“Aku tidur dulu ya. Kamu jangan terlalu malam tidurnya, besok pagi masuk kelas.”
“Cie, perhatian. Nanti kalau aku baper kamu berani tanggung jawab ya.”
“Hi, gileh be’en cong[7].”
Tak kuhiraukan lagi. Selanjutnya menatap layar laptop yang menjadi partner kencan setiap hari. Tidak lupa kedua telinga disumpat dengan headset, sebab malam-malam tidak enak jika memutar musik terlalu keras, mengganggu teman lain yang sedang beristirahat. Jika tidak begitu, yang ada malah ngantuk. Atau minimal merasa bosan. Bekerja seperti itu tiap hari, hingga malam, atau bahkan jika pekerjaan sedang menumpuk betul, sampai tidak tidur sama sekali hingga pagi. Walhasil di sekolah tepar ketika ta’lim.
Hai tunggu! Apa di dunia perkuliahan juga seperti ini nantinya. Disibukkan dengan organisasi, mengorbankan waktu belajar. Itupun bagi yang hanya berkecimpung di organisasi. Belum bagi mahasiswa yang bekerja. Mahasiswa yang sudah menikah beda cerita. Memang orang mencari ilmu amat banyak cobaannya.
***
Di luar kantor sepertinya cuaca cerah. Sementara aku masih belum bisa menikmati indahnya senja. Iya, pemandangan senja menjelang petang di pulau garam. Tapi juga tak jarang aku merindukan senja temaram di tanah kelahiran. Tanah jawa di seberang pulau.
Sore ini seperti biasa. Teman-teman berdatangan. Banyak sekali. Silih berganti.
“Akhi, tolong rekap absennya ya. Nanti isya’ saya ambil.” Permintaan orang pertama.
“Genk, besok ada pertandinagn bola, tolong desainkan formasi pemain.” Pinta orang kedua.
“Bang, tolong buatkan kolom absen, pekan ini hampir habis jatahnya. Yang lain datang lagi,
“Akhi, tolong print info pengumuman bagian bahasa, nanti malam ngumpul.”
Sembari berusaha tenang, aku menjawab,
“Pukul tujuh silahkan ambil di meja tugas.”
Aku mengerjakan itu semua dengan satu orang partner. Dia bagian desain. Untuk bagian pengetikan, aku yang kerjakan. Tapi akhir-akhir ini, anak itu tak kunjung datang, entah kemana tidak terlihat batang hidungnya. Sehingga terkesan aku sendiri yang mengerjakan. Dan ujungnya juga dibilang egois. Mengerjakan sendirian. Dan berujung victim balming. Oh my good. Mis communication.
Di tengah kesibukan seperti itu, menjadi ingat pesan abi. Ketika aku menelfon beliau setiap sore di hari jum’at. Agar tidak meninggalkan sholat jama’ah. Sayangnya aku masih belum bisa melaksanakannya.
“Eh cong, buat anggaran gih. Dana permintaan yang kemarin ternyata kurang.”
“Waduh genk, sebentar lagi adzan maghrib. Ana belum mandi.”
“Sudah kerjain saja dulu, mandi gampang bisa nanti. Pokoknya sebelum jama’ah turun masjid, sudah harus jadi. Soalnya sekalian mau minta tanda tangan.”
Orang ini sudah minta tolong, ditambah marah-marah, kataku dalam hati.
“Sudah, sholat maghrib sendiri saja di kantor.”
“Loh, ya jangan. Nanti dimarahi ustadz.” Kataku
“Aku bisa kunci kantor ini dari luar. Pokoknya sebelum jama’ah maghrib turun masjid, harus selesai.”
Sholat berjama’ah memang bukan karena perintah ustadz. Tapi jika ketahuan tidak sholat berjama’ah di pesantren, bisa jadi kiamat menghampiri. Botak.
Badanku bau, belum mandi rasanya penat. Berdiam diri di kelilingi meja besar, layar laptop beserta seberkas tumpukan kertas. Bosan yang benar-benar kurasakan sekali. Kemudian aku berfikir. Panggilan tuhanku, Allah saja aku masih sering menundanya. Pura-pura tidak mengenal. Atau sengaja tidak mendengar karena telinga disumpat headset. Inikah? Duania yang berisi dengan tipuan dan rayuan.
***
Karena tugas menjadi sekretaris bagiku tidak hanya mencatat. Mengetik, bukan hanya sekedar berhubungan kertas dan tinta. Tidak cukup hanya itu. Sungguh! Kolegaku ada yang bertanya seperti ini,
“Dari dulu cuma jadi sekretaris, apa tidak ingin merasakan jabatan yang lain, agar mendapat ilmu yang lain juga.” Aku tidak menggubris, tetap menatap layar laptop, tapi temanku satunya menyahut,
“Ente sudah banyak mendapat ilmu tentang kesekretariatan pastinya zak.” Perkataan itu membutaku menjawab,
“Tidak hanya itu akhi.”
“Lantas?”
“Aku bisa belajar sabar dan ikhlas. Tulus menolong orang. Kurasa itu tidak mudah.”
“Sudah kau dapatkan kah?”
“Belum.”
“Terus,”
“Karena ujiannya setiap hari, datangnya setiap waktu.” Kutambahkan lagi,
“Aku akan belajar lagi.” Kataku lirih.
[1] Anta: kamu – (Bahasa Arab)
[2] DPS: Dewan Perwakilan Santri. Legislatif
[3] Ana: Saya – (Bahasa Arab)
[4] Mudhir: Kepala sekolah – (Bahasa Arab)
[5] Haqqon: Sungguh – (Bahasa Arab)
[6] Hajjah Khidmah: Selamat bertugas – (Bahasa Arab)
[7] Gileh be’en cong: Gila kamu nak – (Bahasa Madura)
Oleh: Zahri Hammad. Santri Takhassus, asal Surabaya Jawa Timur.