Kalau gadis biasa aku masih mau menemuinya. setidaknya hanya berteman, walau di dalam agamaku, berduaan dengan jenis lain dari keluarga sanak yang masih satu darah adalah larangan. Tapi aku pernah melakukannya. Berduaan, boncengan, telfonan, pernah. Berciuman tak pernah. Berpelukan juga tidak. Bersetubuh baru.

Tentang gadis itu. Cantik, tidak terlalu. Tapi ia manisnya minta ampun seperti lebah madu mengkhawatirkan. Bujang mana yang enggan dengan dia. Posturnya ideal, kulitnya putih susu. Bibirnya tipis merah seperti rona senja. Suaranya serak-serajk basah.

          “Pagi Jal”. (Jal-Rijal: Laki-laki. Sapaan untuk ahwal/pribumi biasa) . Sapanya suatu ketika di messenger .

          “Pagi juga.” Balasanku. Aneh. Perkenalan macam apalagi ini, tidak pernah aku mengenal gadis ini sebelumnya.

          “Apa marga kau?” Marga? Kataku dalam hati. Aku pribumi biasa. Bukan keturunan raden, bukan keturunan ningrat, perangkat Negara bukan, keturunan kanjeng Nabi apalagi.

          “Ahwal” (Ahwal: Warga biasa) Aku membalasanya. Aku mulai menduga, jika ia bertanya sepeti itu, maka gadis itu adalah dzurriyah. (Dzurriyah: Keturunan-biasa dinisbatkan untuk keturunan Rasul)

          “Oh, salam kenal. Nadia Segaf.”

          Buset. Sejak kapan aku dikenal syarifah. Kolega dekatku di bangku SD hingga SMA tidak ada dzurriyah. Semua ahwal biasa. Seingatku hanya seorang adik kelas yang keturunan Rasul. Sayyid Ali bin Sholeh Muhammad Al-Idrus. Selebihnya tak ada.

          “Na’am, salam kenal juga.” Lalu aku tambahkan sebuah pertanyaan,

          “Darimana syarifah tau saya.”

          “Ya Allah Jal, ente  itu vokal. Jadi kamu famous.”

          “Oh…” Jawabku pendek. Sok mahal, padahal mekar.

***

          Hari-hari selanjutnya, syarifah bukan hanya teman baru. Dia seperti teman lama yang kerap bercengkrama. Bahkan teman-temannya yang juga kebanyakan adalah syarifah juga mengenalku. Banyak marga. Al-Haddad, Al-Jufri, Al-Attas, dan lainnya.

          “Jal, hari ini aku terbang ke Samarinda.”

          “Iya fah. Hati-hati.”

          “Kok begitu jawabnya.”

          “Lantas bagaimana Ifah?”

          “Ah kau ini, kira-kira kau bisa menemuiku di bandara nanti?”

Ya tuhan, acara apalagi ini. Bertemu dengan syarifah di bandara. Abi jelas tidak memperbolehkan diriku bertemu dengan lawan jenis yang tidak sedarah (non-mahrom). Aku mafhum, karena orang seusiaku memang rawan. Terus berfikir. Lama aku belum menjawab pesannya entah akan berkata apa.

          “Jal…” Dia mengirimkan pesannya lagi. Aku tetap belum menjawab. Selanjutnya ponsel bergetar lagi.

          “Jal, kita belum pernah bertemu.” Tidak enak rasanya aku membalas terlalu lama.

          “Maaf Ifah, saya tidak bisa. Kita bisa chating di ponsel, whats up dan direct. Tapi untuk bertemu, sepertinya saya lancang sekali. Maafkan saya fah, punten.”

          “Ya sudah jal, lainkali.”

          “Iya Ifah.” Iya tak membalas lagi. Apakah ia marah padaku, aku tak mengerti.

          Dahulu aku memang pernah bertemu dengan lawan jenis. Boncengan, jalan-jalan. Istilah orang menyebutnya kencan. Tapi sungguh! Aku tidak berpacaran. Waktu itu aku hanya berboncengan saat aku akan mengunjungi rumah teman perempuanku. Itupun aku tidak melakukan apa-apa selain hidungku bernafas, selebihnya mengemudikan motor. Dan itu dengan izin ibunya.

          Walau hanya berboncengan dan bertemu, yang disitu diriku tidak bersentuhan pun, hingga kini rasanya melakukan kesalahan. Aku merasa sangat bedosa. Karena itu termasuk larangan dari agamaku. Itupun tanpa sepengetahuan abi, jika beliau tahu sudah pasti lain cerita.

          Dan kali ini bertambah tingkatan. Setelah pernah dekat dengan perempuan biasa, pernah hangat dengan putri ningrat raden kanjeng mas patih, Anna. Sekarang dekat dengan cucu Rasul, syarifah Nadia. Oh, lancing kali. Betapa lancangnya.

***

           “Jal, nanti malam tolong kowe (Kowe: Kamu) hadir di Mantung.” Suatu ketika pesan ponselku bergetar.

          “Inggeh, Bib, InsyaAllah.”

          Semasa SMP dulu, aku merasa istimewa. Menjadi vokal sholawat seorang habib. Beliau Habib Sholeh bin Muhammad Al-Idrus. Ayah adik kelasku, Sayyid Ali Al-Idrus. Puji syukur kepada Allah mengkaruniahi suara indah, sehingga kerap menjadi vokal dan qori’ di majelis ta’lim dan maulid.

          Membawa ponsel di asrama adalah larangan. Tapi tanpa membawa smartphone, bagaimana bisa menghadiri undangan di majelis-majelis itu. Lebih parahnya lagi, kenakalannku dulu, ketika menghadiri majelis-majelis itu tanpa izin kepada pengasuh asrama kecuali sedikit sekali. Jika izinpun, bukan pergi ke majelis, aku izin dengan alasan tugas osis. Ada tugas HUMAS di luar dan mengahruskan menginap di rumah teman yang bermukim di kampung (non-asrama.)

          Baiklah, niatku mungkin benar. tapi caraku boleh dibilang fatal. Salah sekali. Membawa ponsel di asrama, kabur dari asrma, menyalah gunakan perizinan. Walau itu lima tahun yang lalu, namun hingga kini hati masih terbayang betapa dosa menumpuk seberapa banyaknya.

***

          Malam pekat. Tetap indah karena malam ini rembulan masih ada. Sinarnya tetap paling besar, paling terang dan menawan diantara bintang-bintang. Asrama sudah sepi dari tadi pukul sembilan. Hanya saja aku baru terlelap hampir pukul sebelas malam. Nyenyak sekali rasanya. Meski tanpa bantal, tanpa kasur, tetap nyaman.

          “Habib, izinkan saya bertanya.”

          “Ahlan, Jal.”

          “Bib, kulo (Kulo: Saya) vokal njenengan.”

          “Shohih (Shohih: Benar) jal.”

          “Kulo sering hadir di majelis ilmu, majelis ta’lim, majelis sholawat. Saya juga nyantri bib, diam di asrama yang berbasis pesantren. Membaca qur’an tiap hari. Menghafal hadits kanjeng nabi juga sering sekali. Tapi hidup saya jauh, atau bahkan sama sekali tidak mencerminkan yang saya pelajari. “

          “Dari pertanyaanmu apakah kowe ditimpa kesusahan jal, atau ada yang sedang menggunjunjingmu?”

          “Tidak, Bib. Akhir-akhir ini saya hanya merasakan bahwa semakin menumpuknya dosa.”

          “Begitu?” beliau menanyakan. Aku hanya manggut mengiyakan.

          “Sebelum menjawab, aku mau tanya jal.”

          “Monggo  bib.”

          “Bagimu, umat yang baik itu yang bagaimana?”

Aku bingung, hendak menjawab apa. Seadanya kukatakan,

          “Ummatan wasathan bib. Umat yang pas, tidak keras radikal, tidak juga terlalu toleran sehingga meremehkan. Di tengah-tengah. Sakmadya.”

          “Selain itu…” Baliau tanya lagi, sepertinya jawabanku kurang tepat.

          “Kirangan, (Kirangan: Kurang tau ) Bib.”

Beliau senyum sebentar. Kurasa beliau maklum dengan sifat pemuda yang masih merangkak. Labil aku.

          “Jal, umat yang baik itu mereka yang mengerjakan kebaikan dan meningalkan keburukan. Umat yang saling mengingatkan saudaranya. Yang saling berupaya untuk berubah meninggalkan keburukannya. Umat yang mencintai tuhan dan mencintai apa yang dicintai oleh-Nya.” Aku diam saja, mendengarkan dawuh beliau.

          “Aku ngerti perasaanmu jal. Di dunia ini tidak ada yang ma’sum  kecuali kanjeng Nabi.” Beliau mengimbuhkan seperti itu, spontan aku menjawab,

          “Habib, apa saya masih pantas jadi umat kanjeng Nabi?” tiba-tiba pipiku basah. Padahal sama sekali tidak menyuruh agar aitr mata jatuh.

          “Palacur saja dosanya diampuni jal. Gusti Allah maha tau jal, jangankan tangisanmu, semut nggondok saja Allah mendengar. Tuhan kita pemurah jal. Tuhan kita penyayang.” Sejenak beliau mengelus janggut, lalu menambahkan,

          “Dirimu boleh takut, tapi jangan keterlaluan. Berharap mareng gusti pangeran juga penting jal. Jadi khauf  dan raja’.

          “Dengarkan jal, aku ini pasti punya masa lalu. Sedangkan kowe juga punya masa depan. Panjang jal, panjang sekali.

          Diamlah diriku, terbungkam mulutku seribu bahasa.

          “Banyak-banyak shalawat, bisa membantu meringankan masalahmu jal. Kowe ngertilah pasti, barokah iku seperti apa. Seribu persen kanjengn nabi sayang kepada umat-Nya. Dan kowe sudah mempelajari itu di pesantren.”

          “Inggeh ditampi, (Ditampi: Diterima) Bib.” Beliau senyum. Aku menarik nafas panjang. Lalu menambahkan lagi.

          “Maka sudi kiranya bib, untuk mendo’akan anak bocah seperti saya. Ngapunten bukan saya menyalahkan zaman. Pasalnya era melanium ini bisa menyulap apa saja. Hebat sekali dan cepat sekali. Sehingga usia seperti saya menjadi rawan sekali.” Beliau mendengarkan.

          “Mohonkan do’a, Bib. Barokah njenengan , barokah datuknya njenengan . Mohonkan ampun kepada gusti pangeran .” Pintaku sekali lagi.

          “Dido’akan jal . Di do’akan nak.”

          Tunggu. Itu adalah mimpi. Itu adalah percakapan di alam mimpi. Lega. Mengatakan bahwa itu adalah mimpi baik di tengah malam kelam. Seperti perbincangan di dunia alam sadar. Iya, tadi mimpi. Mimpi yang Jadi mengharap, bolehkah? Pantaskah? Semoga…