Abuya memang bukan bangsa Indonesia, namun bangsa Indonesia adalah bangsa yang begitu beliau cintai. Dan di Indonesia sendiri banyak sekali santri beliau dan menjadi ulama besar di berbagai daerah di Nusantara. Abuya tidak hanya guru besar ulama Nasional, lebih dari itu beliau sosok guru ulama teladan Internasional. Dan ketika sosok seorang guru memiliki posisi sebagai silsilah rantai keguruan kita kepada Rasulullah SAW, maka Abuya sebagai keluarga Al-Maliki merupakan keturunan terdekat Rasulullah di zaman ini. Beliau sudah wafat 17 tahun yang lalu. Tapi sejatinya hingga kini beliau selalu ada senantiasa menemani para santri dan para pecinta beliau dengan kadar ta’alluq (keterkaitan) pada masing-masing diri.

Kali pertama Abuya berkunjung  ke Indonesia pada tahun 1975 di usia beliau yang masih 27 tahun. Beliau diterima di istana negara oleh presiden kedua Jendral Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto. Abuya mendapat mandat dari kerajaan Saudi untuk menyampaikan amanat Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) yang berpusat di Makkah. Lalu tidak lama setelah itu, beberapa santri Indonesia berangkat ke Makkah untuk menimba ilmu dari beliau. Di tahun 1980an Abuya kembali berkunjung ke Tanah Air dan melakukan safari singkat di beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Malang, Cirebon.

Ayahanda kita tercinta Abina KH. A. Kharis Masduki merupakan santri dakhili di Ribath Darut Tauhid Al-Malikiyah dalam asuhan Abuya Assayyid Muhammad di Hay Rushaifah Makah. Abina menempuh masa studi selama kurang lebih 5 tahun, masuk ribath pada 19 Dzulhijjah 1413 H./1993 M. Lalu Abina pulang ke Tanah Air pada tahun 1998 M. Dengan penuh rasa syukur, ketika kita belajar kepada Abina, maka kita memiliki sanad keguruan yang jelas tersambung kepada Abuya Muhammad. Abuya Muhammad bersambung kepada ayah beliau, Abuya Alawi, kepada Abuya Abbas, kepada Abuya Abdul Aziz, kepada Sayyidina Idris Al-Azhari bin Idris Al-Akbar Bin Abdullah Al-Kamil Bin Al-Hasan Al-Mutsanna Bin Al-Hasan As-Sibth bin Al-Imam Ali Bin Abi Thalib suami daripada Sayyidah Fatima Azzahra putri Rasulullah SAW.

Abuya Assayyid Muhammad adalah ulama besar dan juga wali Allah di zaman ini. Tidak ada yang membantah dengan kealiman dan keluasan ilmu beliau. Ketokohan beliau di dunia internasional begitu dimuliakan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan beliau mengani berbagai masalah keislaman. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani lebih condong kepada cara berpikir yang mendinginkan suasana. Banyak ceramah dan tausiah beliau yang selalu mengedepankan untuk saling menghormati, meski kepada orang lain yang memiliki cara berpikir berbeda dengan kita.

Beliau lahir pada tahun 1365 H atau pada tahun 1946 M di kota Mekkah. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki berasal dari keluarga Al-Maliki Al-Hasani yang sangat terkenal. Ayah beliau adalah As-Sayyid Alawi yang merupakan ulama terkemuka di Mekkah dan juga merupakan penasihat dari Raja Faisal raja Arab Saudi.Sejak dari kecil, Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki sudah digembleng dengan ilmu Islam oleh Ayahanda nya yaitu Sayyid Alawi. Ayahanda beliau meninggal pada tahun 1971.

Pendidikan awal dari Sayyid Muhammad Alawi-Al Maliki Al-Hasani ini tentu berasal dari Ayahnya sendiri yang juga merupakan ulama besar. Beliau belajar kepada Ayah nya baik di rumah maupun di Masjidil Haram dimana tempat beliau menghafal Al-Quran sejak masih kecil. Beliau belajar banyak kitab dari Ayahanda, dan setiap kitab yang diajarkan Ayahanda kepada beliau, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani boleh mengajarkannya. Pendidikan Islam Sayyid Muhammad Alawi kemudian atas arahan dari orang tuanya, dilanjutkan untuk belajar mengenai Akidah, Tafsir, Hadits, Fikih, Usul, Mustalah, Nahwu kepada ulama-ulama besar lainnya baik di Mekkah maupun di Madinah.

Ketika masih berusia 15 tahun, Sayyid Muhammad Alawi telah mengajar berbagai kitab baik Hadits maupun Fikih kepada pelajar lain dengan arahan dari gurunya tentunya. Setelah beberapa tahun belajar berbagai ilmu di Mekkah, kemudian Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki diantarkan oleh ayahnya untuk menuntut ilmu di Al-Azhar As-Syarif. Luar biasanya, Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki berhasil mendapatkan PhD di Al Azhar ketika masih berusia 25 tahun. Dan itu merupakan prestasi yang luar biasa karena menjadikan Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki sebagai orang Arab termuda yang berhasil menerima ijazah PhD dari Al Azhar. Tesis beliau mengenai Hadits dianggap sangat cemerlang dan menerima pujian yang tinggi dari Ulama unggulan di Al-Azhar saat itu seperti Imam Abu Zahrah.

Dalam perjalanannya menuntut ilmu, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki tidak hanya menuntut ilmu di Mekkah. Beliau juga berkeliling dunia untuk mencari ilmu seperti di Afrika Utara, Mesir, Syria, Turki dan lain-lain. Tak hanya menuntut ilmu saja, beliau juga bertemu para wali Allah dan juga rajin menziarahi masjid-masjid dan maqbarah dan tak ketinggalan pula mengumpulkan manuskrip dan kitab. Di Mekkah sendiri, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki memiliki ijazah terbanyak pada masanya, beliau memiliki lebih dari 200 ijazah dari para alim ulama, baik yang masyhur ataupun yang mastur pada saat itu.

Abuya memiliki banyak sekali karangan kitab, yang paling familiyar adalah Mafahim Yajibu an-Tusahhah (Pemahaman Yang Harus Diluruskan) Kitab ini bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka.

Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Dia pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Masjidil Haram Kitab-kitab karya dia dilarang, bahkan kedudukan dia sebagai profesor di Ummul Qura pun dicabut. Baeliau ditangkap dan paspornya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.

Suatu ketika berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, Abuya mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syeikh Sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tanggak 5 hingga 9 Dhul Qa’dah 1424 H dengan judul “Al-Ghuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana Abuya mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana Abuya telah meluncurkan sebuah buku yang popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alghuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”. Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran Abuya tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas.

Pada tanggal 11 Dzulqa’dah 1424 H., beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah.

Abuya wafat hari Jumat tanggal 15 Ramadhan 1425 pukul 04.00 waktu setempat dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la di samping maqam istri Rasulullah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri.

Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumah beliau terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan pada hari terakhir `aza’, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke kediaman untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal untuk pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat. Semoga kita semua dikumpulkan bersama beliau di ari kiamat kelak. Wallaahu a’lam

.

.

.

Oleh: Zahri Hammad, Santri Program Takhassus, Asal Surabaya Jawa Timur.
(Dari Kitab Lawami’un Nur As-Sani, Karya Habib Sholeh Bin Muhammad Al-Aydrus)