Jika tanah sudah kering dari basahnya hujan, maka suasana menjelang petang pasti cerah. Ternyata benar. Siluet senja selalu disajikan tuhan dengan merah merona kekuningan. Seperti wana kulit salah seorang teman perempuanku dulu di SMP, manis sekali. Kuasa tuhan memang seperti itu. Indah seperti senja.
Dahulu aku risih, mengapa hampir di setiap kosmos literasi dalam lembaran-lembaran sastra. Baik itu cerpen, puisi, esai, juga kolom, selalu saja terselip kata-kata senja. Senja seperti ini dan itu. Betapa membosankan. Dimana-mana senja. Padahal pagi juga tak kalah indah, dengan semangat pemula penuh membuncah. Siang hari juga bagus, sebab pakaian di jemuran belakang hamam lekas rampung. Malampun demikian tak kalah indahnya dengan senja. Bintang dan rembulan yang dengan sinarnya makin mempertegas cahaya kerinduan. Tapi untungnya aku, dan beberapa temanku segera mengerti juga, ada apa dengan senja. Cahayanya memberikan pancaran tegas, bahwa senja selalu memancarkan cahaya kebenaran dan keteduhan.
“Thayyib, kalian sudah menjadi senja sekarang. Senja bukan hanya sebuah redaksi, bukan sebatas dunia literasi. Melibihi itu, dengan ini antum semua semakin erat bersaudara. Fahimtum[1]?”
“Fahimna ustadz.” Sahut kami.
Kami rutin berkumpul setiap sebelum petang benar-benar tiba, tempatnya di masjid belakang lantai tiga. Silih berganti, hari ini nulis bersama, hari selanjutnya membaca bersama, hari setelahnya bediskusi besrsama, dan juga makan bersama, kami sudah seperti keluarga. Bukan hanya keluarga pada angkatan kami saja, melainkan juga sampai kepada senior-senior kami, angkatan sebelumnya.
Pelajaran pertama yang terpatri dalam masing-masing hati kami adalah persatuan dan persaudaraan. Setelah itu baru berjuang. Sebab berjuang sendiri tanpa seorang rekan merupakan hal buruk. Setidaknya kata ustadz seperti itu.
“Capek juga ternyata, lis…” Aku membuka percakapan saat nongkrong di kantin marhalah.
“Kalau bareng pasti ngga capek kok.”
“Saya malas sekali minta tanda tangan perizinannya. Sulit, masih keliling jauh sekali.”
“Iya nanti saya yang minta.”
“Sungguh, kamu yang minta? Tidak capek?”
“Tidak perlu capek. Wong mintanya juga bareng kamu. Kan bersama-sama.”
“Tidang mungkin aku mau.”
“Hus, harus nurut sama pemred.”
Di pesantrenku memang terkenal dengan kedisiplinan. Salah satunya adalah batas waktu kegiatan di malam hari. Pukul Sembilan petang seluruh santri sudah harus berada di asrama. Jika masih ada yang di luar asrama selain pengurus, maka bersiap dicukur bersih rambutnya. Diperbolehkan bagi santri yang memiliki tugas tambahan untuk bekerja di waktu malam dengan syarat harus memiliki izin secara tertulis dari pihak terkait. Dan untuk mendapatkan perizinanan tersebut sulitnya minta ampun.
Bahkan beberapa kali ketika sedang kerja tugas malam-malam, kami nekat keluar asrama tanpa perizinan. Ketahuan? Hampir. Berkat kecerdikan yang diasah dan diajarkan para senior kami, para pengurus malam (Bagian Keamanan) bisa kami kelabuhi. Karena selain sering dikejar deadline, kami memang sudah terlatih sejak usia kami masih sebiji jagung di pondok itu.
***
Senja, itulah nama buletin kami pada tahun kedua di pesantren. Warna kertasnya merah muda, sesuai dengan warna sinar matahari ketika senja. Sebuah wadah keredaksian yang banyak sekali menyimpan kenangan sejuta kisah. Susah senang, sedih dan bahagia.
“Kalau niatmu nulis hanya untuk dikenal, atau agar familiyar, sebaiknya hengkang saja. Cukup di pertemuan ini!” Ujar salah satu kolegaku.
“Loh, tunggu dulu. Terkenal karena untuk mendapat motifasi agar semangat menulis, tidak masalah ya akhi.” Kata kolega yang lain, satunya menyahut,
“Motifasi apanya? Salah niat! Kita menulis untuk berdakwah, bersosial, berbudaya, bukan agar terkenal cong!” Lainnya ikut angkat bicara,
“Sudah, ngga maslah. Toh ini kan buat latihan, pemula.”
“Tidak masalah apanya, apa kata senior kita nanti. Ini bukan redaksinya bapakmu!”
Majelis yang awalnya hanya nulis bersama kini menjadi saling aduh naik darah. Saling menjatuhkan, menyalahkan. Tengkar mulutpun tak terhindarkan. Lantai tiga tak lagi tenang. Hingga membuat ustadz Ismail keluar dari kamar turun tangan. Semua mata tertuju kepada beliau, suasana tertiba menjadi tegang. Beliau memang garang, tapi memang hanya beliau satu-satunya manusia yang hanya bisa menjadi penengah diantara kami. Dahulu beliau juga anggota redaktur, sehingga selain guru bahasa Indonesia di sekolah, beliau juga senior kami.
Suatu ketika, ustadz Ismail pernah mengumpulkan kami. Perkumpulan itu bukan menjelang petang seperti biasanya. Atau bukan siang usai pulang marhalah. Tapi malam. Tengah malam pukul sebelas lewat di lantai tiga. Pasalnya salah satu edisi kami kacau tak berarah entah kemana. Baik itu dari tulisan, bahasa, hingga desain. Sebabnya adalah persaudaraan dan kebersamaan di redaksi kami merenggang. Beliau tidak banyak bicara. Buku kaskul tebal mendarat di masing-masing pipi kami secara bergantian.
“Plas! Untuk apa ente nulis.” Ganti satunya,
“Plas! Niatmu apa nak, hah!” berikutnya,
“Plas! Egois terus kalian! Sejak kapan ustadzmu mengajari seperti ini.” Selanjutnya,
“Kataya berdakwah, bersosial, bisikan iblis mengapa kau indahkan nak, hem!” bergantian satu persatu selanjutnya.”
Sakit jelas, memar iya. Tapi kami paham. Itu pendidkan. Kami mengerti, pondok melarang keras pemukulan. Dengan alasan itu adalah kekerasan, pelanggaran HAM metode yang ketinggalan zaman, dan alasan sebagainya. Sempat terbesit, memang sekali dua kali harus mendapatkan siraman ruhani. Benar juga kata senior, sebelum pedang menjadi tajam, tukang pandai besi membakar tembaga campur api serta dipukul berkali-kali. Hasilnyapun menusuk, tajam tak meragukan.
***
Karena kegiatan di TMI padat sekali, membuat kinerja redaksi kami naik turun. Dan itu memang tantangan tersendiri. Tak ada cara lain selain bekerja keras hingga meresahkan diri. Bagi kami ini cocok. Hasil apik pasti disebabkan oleh kerasnya perjuangan, tentunya beriring ridha tuhan. Sehingga diredaksi ini, kami banyak sekali belajar.
“Heh, ngga sekolah ente?” Tanya Wiji. Kolegaku satu redaksi
“Nanti malam deadline cong.”
“Tugas boleh dikerjakan akhi. Tanpa meninggalkan kewajiban.” Aku diam, bimbang. Tapi jika tidak kukerjakan sekarang, jadi apa buletin ini nanti malam.
Ini adalah tahun terakhir kami bisa mengikuti lomba buletin. Tahun kemarin kami jatuh, hanya mendapat perak. Tahun ini harus gol, emas. Tahun depan sudah tak dapat mengikuti perlombaan lagi. Sudah saatnya menjadi pengurus organisasi, jelasnya menjadi panitia lomba.
Dan pagi ini adalah jadwal masuk kelas. Jika aku masuk, deadline tak kan bisa terpenuhi bahkan hingga tegah malam hari ini pun. Kemarin hari aku sudah nekat membawa netbook sembunyi-sembunyi ke kelas. Sayangnya tak ada celah jam kosong, guru maddah masuk semua. Jika kutetap membawa netbook lagi sama dengan cuma-cuma. Maka satu-satu jalan adalah hammam. Bersembunyi dan mengerjakan di tempat mandi ialah jalan terakhir.
“Loh cong, kok ke hammam bawa netbook. Biasanya bawa gayung.” Kata salah satu temanku. Aku cuma nyengir. Temanku yang lain menimpali,
“Ayo cong, kelas hampir masuk.”
“Iya, duluan…”
Tidak lama, akhirnya hammam sepi. Meninggalkanku seorang diri. Kini saatnya beraksi. Hammam di pesantrenku, skat tembok pembatasnya tidak sampai ke atas atap. Sehingga masih menyisahkan sedikit cela. Biasanya bisa dipakai sebagai tempat ember dan baju kotor. Namun untuk pagi ini, tempat ini memiliki lain fungsi. Duduk jongkok sembari menjaga keseimbangan agar netbook tetap aman. Keselamatan diri agar tidak terpeleset tetap diutamakan.
Tunggu. Jika aku ketahuan, hukuman paling ringan adalah skorsing. Di pesantrenku, skorsing sama dengan tidak naik kelas. Nasibku pasti bubar.
Dua jam berlalu. Tiba-tiba suara sandal menggesek tanah semen di luar hamam, oh tidak. Siapakah gerangan.
“Lah ini orangnya.” Ternyata dia Kholis. Pemimpin redaksiku.
“Kowe ndak sekolah juga?”
“Biar kamu ngga sendiri.”
“Edan.”
Usaha seperti itu akhirnya membuahkan hasil. Tahun ini gol. Kolega satu redaksi bersama rekan satu angkatan kami naik panggung mengangkat piala kebanggaan. Haru bercampur bahagia. Merupakan suatu hasil dari usaha. Dari dulu memang seperti itu pendidikan yang setidaknya disuguhkan oleh para senior kami. Memang, ini hanya pembelajaran, memang ini masih latihan, tapi ini bukan abal-abal. Dengan izin tuhan Allah, berharap di kemudian hari ada salah satu dari kami yang memang benar-benar memiliki kemampuan intelektual dan kompeten yang mumpuni dalam bidang ini.
***
Suatu ketika, aku menelpon umi melalui ponsel yang disediakan wartel pondok di waktu jum’at sore seturun dari masjid usai sholat ashar. Rutinitasku memang seperti itu sebanyak satu kali dalam satu jum’at.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Berapa lama kau sudah tak pulang di tanah kelahiran.” Rupanya beliau rindu betul kepadaku.
“Sehat saja putramu ini, Mi. setelah wisuda nanti ananda akan pulang ke kampung halaman. Juga siap dipijat umi di atas dipan depan rumah. Anakmu ini terlalu capek mengerjakan tugas paper dan program akhir beberapa waktu berselang. Ananda rindu pijatan umi.”
“Dasar bujang. Studimu bagaimana, nak?
“Tidak baik umi, burukpun tidak.” Lagi-lagi beliau bertanya tentang perkembanganku di kelas. Memang selama aku nyantri mulai dulu hingga kini, perkembangan studi akademiku bisa dikata kurang baik. Atau minimal cukup dari rata-rata. Maka aku bingung, entah ilham dari siapa aku jawab seperti ini,
“Harga jas dan seragam sekolah yang ananda pakai, tentu tidak murah umi. Belum lagi tahu dan tempe yang masuk bersama butiran nasi setiap hari di perut ananda, pasti juga butuh mengeluaran biaya.” Sebentar aku mengambil nafas, dan berkata lagi,
“Ananda akan berusaha, mi. Selalu berusaha.”
“Perempuan tua ini pasti akan selalu mendo’akanmu, Nak. Pasti. Setiap hari.”
“Terimkasih sebesar-besarnya umi.”
Sejatinya, diriku masih ingin bercerita banyak sekali tentang senja. Dan memang cerita senja masih panjang. Sungguh. Teramat panjang. Tapi sayang. Hujan turun. Deras sekali. Bersama petirnya yang menyambar-nyambar.
[1] Fahimtum: Faham? (B. Arab)