Peristiwa yang terjadi pada 10 November 1945 tahun silam ternyata memang menjadi sejarah yang tidak akan dilupakan oleh bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, di bulan Agustus Indonesia sudah mengumumkan proklamasi kemerdekaannya dari penjajah, namun tiga bulan setelahnya di bulan November, penjajah kembali mengusik martabat daripada kemerdekaan itu sendiri.
Alangkah sakitnya hati rakyat bumi pertiwi. Terlebih rakyat Indonesia yang berada di Surabaya tempat peristiwa itu terjadi. Ketika tentara Inggris memberikan ultimatum untuk genjatan senjata, namun dirasa kesepakatan itu merugikan, dan akhirnya membuat keputusan arek-arek Suroboyo dengan bondo nekatnya yang membuncah. Dipimpin oleh Bung Tomo dengan pekikan takbir, maka pecahlah pertempuran di bumi Surabaya. Pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa Indonesia dengan dirobeknya bendera Belanda warna biru di atas hotel Majapahit Surabaya. Maka saat itu pada tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Dan Surabaya sendiri mendapat julukan kota Pahlawan.
Setiap 10 November pula, di setiap instansi pendidikan di Indonesia, baik itu formal maupun non formal, upacara bendera dalam rangka perayaan pahlawan. Tiada hal lain itu sebagai renungan, sebagai pengingat, sebagai alarm, dan sebagai motifasi kita akan semangat, berikut besarnya perjuangan syuhada’ para pahlawan. Tentunya dengan perasaan dan penghayatan yang penuh khidmat, bukan sekedar formalitas seremonial belaka. Dalam peringatan Hari Pahlawan ini, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai ibroh (pelajaran).
Pertama, Peringatan Hari Pahlawan adalah momen yang sudah semestinya kita gunakan untuk menghargai. Dalam artian kita memperhatikan bagaimana himmah (semangat) para pahlawan bangsa, bagaiamana keikhlasannya, ketulusannya, untuk mempertahankan bangsa yang merdeka. Sehingga di Hari Pahlawan ini bukan malah kita merasa bangga karena telah merdeka. Rasa syukur yang ada di dada, jangan sampai ternodai dengan rasa puas dan bangga. Kira-kira apakah pantas kita bersyukur tanpa mewujudkan rasa syukur itu sendiri. Tidak sebanding rasa syukur kita jika hanya disertai dengan kemalasan, mager (malas gerak) yang berlebihan, melanggar disiplin pesantren (misalnya), hingga kita bermaksiat kepada Allah, lalu dari segi apa syukur itu dapat dinilai. Tentu hal ini tidak bisa dijabarkan dengan kata, jawaban itu ada pada diri masing-masing. Maka melalui perenungan, yang walaupun hanya sebentar dan perayaannya hanya satu tahun satu kali di Hari Pahlawan, sangat diharapkan rasa sadar itu tumbuh pada diri kita. Merdeka itu tidak mudah. Adapun mempertahankan kemerdekaan itu tidak mudah nyatanya.
Kedua, Peringatan Hari Pahlawan juga sudah lazim dengan tema semangat perjuangan. Selaras dengan peristiwa tersebut, dalam kondisi Indonesia resmi sudah merdekapun, masih bisa dirusak dengan penjajahan dan sekutunya. Maka pada 10 November 1945, para pejuang berkorban habis-habisan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sama halnya dengan perjalanan hidup yang mungkin kita sudah mencapai suatu keberhasilanpun, kita juga dihadapkan dengan berbagai cobaan. Maka bagaimana caranya kita bisa mempertahankan dan merebut kembali keberhasilan itu. Pada konteks yang lebih spesifik, kita akan mengarahkan keberhasilan itu dengan keistiqamahan. Istiqamah dalam segala hal kebaikan. Beribadah, belajar, berkhidmah, dan lainnya. Ketika kita sudah istiqamah, sering dihadang dengan rasa malas, nafsu yang seolah membelenggu, maka kita harus berjuangan untuk menyingkirkan itu semua.
Ketiga, Peringatan Hari Pahlawan dapat kita gunakan sebagai ajang menyambung batin dengan para beliau. Yang dimaksud dengan menyambung batin disini banyak sekali. Beberapa diantaranya, Peringatan Hari Pahlawan sebagai pengingat kita untuk tidak lupa mendoakan para beliau syuhada’ dan pahlawan bangsa. Tidak akan mampu membalas dan sebaik-baik pembalasan yang dapat kita lakukan adalah berdo’a. Ikatan batin yang lain adalah menulusuri biografi para pahlawan. Jangan sampai kita menghafal banyak nama pemain bola, nama idola artis papan atas, namun kita buta dengan sejarah kepahlawanan, bahkan nama pahlawannya saja kita tidak kenal, na’udzubillah. Suram sekali generasi yang tidak bisa blajar dari sejarahnya sendiri, bahkan tidak mengenal pahlawannya sendiri.
Jika kita memaknai betul-betul dari rentetan hari Nasional, baik itu Peringatan Hari Santri Nasional, Peringatan Sumpah Pemuda, Peringatan Pancasila, Peringatan Hari Pahlawan, dan hari Nasional lainnya, maka hal tersebut cukup menjadi pendorong dan dorongan untuk kita. Karena menjadi umat Kanjeng Nabi yang taat adalah sebaik-baik harapan. Dan menjadi bangsa yang taat adalah keniscayaan. Selamat belajar. Selamat Memperingati Hari Pahlawan. (Zahri Hammad)