Oleh: Nur Intan Agustina

Pernah tidak kalian merasa benar-benar bosen hidup di Pondok, merasa jenuh dengan agenda yang ada, pusing karena target hafalan yang belum selesai, minder sama teman yang sudah bisa, terus dimarahin sama ustadz/ah pondok, belum lagi merasa kalau hidup di Pondok hanya seperti itu saja, MONOTON, FRUSTASI, KACAU. Dan disaat itulah hanya ketabahan yang mampu mengubahnya menjadi manis.

Cerita ini bukan kisah kehidupanku, melainkan cerita yang kukutip dari seorang santri yang hidup terpencil jauh dari kehidupan yang layak, yang terus tabah menjalani hari-harinya yang kian sulit. Bahkan kalian tak akan percaya jika ia bisa begitu sabar dalam menghadapi hidupnya. Beginilah kisahnya.

Saat itu hujan mengguyur daerah Pasar begitu deras.Suara hujan yang turun mengenai atap kedai-kedai di Pasar membentuk melodi tersendiri, membuat suasana Pasar semakin ricuh.Hah…. Seandainya saat ini aku ada di kamar pasti syahdu, batinku didalam hati.Hari ini adalah jatahku untuk membeli kebutuhan dapur Pondok. Biasanya aku sangat senang dengan jatah ini, tapi tidak untuk sekarang.

Sudah dua jam aku menunggu hujan reda, akan tetapi sepertinya hujan tidak mendukungku, akhirnya aku memberanikan diri untuk menerobos hujan melanjutkan kegiatanku tadi.

Ditengah-tengah perjalanan tiba-tiba aku mendengar suara yang begitu merdu, suara bacaan al-Qur’an.Dan sepertinya sudah juz-juz terakhir, telingaku sangat menikmatinya, suaranya halus perempuan.Mataku menyisiri sekitar mencari asal suara itu berada, tapi nihil.Akhirnya kuputuskan mencarinya dengan metode mendengar.Ku ikuti suara tersebut hingga akhirnya aku melihat sosok perempuan kurus dengan baju dan hijab putih yang sudah menguning tapi tetap terlihat rapi. Dia duduk dengan memegangi al-Qur’annya itu dan dihadapannya ada meja memanjang yang berisi dengan dagangan temped an tahu mentahnya. Sepertinya ia sangat menikmati suasana hari ini. Suaranya kian mengeras dan tambah merdu.Subhanalloh.

Lama sekali aku memperhatikannya, hingga ia menghentikan kegiatannya, ia menoleh kearahku. 1 detik 2 detik 3 detik akhirnya ia memutus kontak mata kita. Kesadaranku kembali. Gleggg! Jantungku ingin copot rasanya ternyata sosok yang kukagumi adalah alumni pondokku.

“Mbak Sekar?” ucapku lirih, tanpa babibu aku melanjutkan perjalananku ke Pondok, takut simbok mencariku.

Sesampainya di asrama, tujuanku pertama adalah dapur, aku menaruh semua belanjaanku tadi pada tempatnya masing-masing, setelah kurasa beres aku langsung menuju ke kamarku.

Aku mengucapkan salam selagi membuka kenop pintu kamar “Assalamualaikum” ucapku ramah.

“Waalaikumslam” jawab Zikra, Ima, Afi bersamaan diikuti oleh Aini yang baru menyadari kehadirannya.

Aii menghentikan agendanya.Ia menatapku dengan muka sok imutnya! Dan kalau sudah seperti ini, sudah bisa ditebak apa yang akan ditanyakan olehnya “Mba Wirda …. Tadi ketemu kang siapa di Pasar?” jatanyanya dengan mata berbinar dan senyum pepsodent.

“Kang … Kang … Noh! Di dapur tuh ada Kang. KANGKUNG! Makan tuh !”

Semprot Afi dengan tatapan membunuh.Aini membalasnya dengan cengiran kuda.Baik Aini dan Afi sudah paham dengan sifat temannya masing-masing.Jadi seperti ini sudah maklum, bahkan menjadi hiburan gratis bagiku dan teman kamar.

Obrolan kita kian hangat.Walaupun kita sering bertengkar dan sibuk dengan kegiatan masing-masing tapi kekeluargaan kita tetap kental, seperti saat ini.Kita bercerita dan nglawak secara bergiliran. Inilah moment indah yang jarang ditemui diluar sana yaitu “Kumpul Bareng Teman Tanpa Gangguan HP” (Iyalah di Pondok tidak boleh membawa HP).

Hingga ditengah-tengah obrolan aku menceritakan kejadian di Pasar tadi, saat aku bertemu dengan mbak Sekar.Semuanya sontak terkejut mendengarnya, raut muka mereka berubah sedikit memanas. Obrolan kita menjadi menjorong ketidak  bajikan. Sedikit demi sedikit kita muai membicarakan keburukan mbak Sekar.

Sebenarnya aku tidak tahu betul sosok seperti apakah mbak Sekar sebenarnya.Karena dulu saat mbak Sekar diboyongkan aku sedang memasuki bulan ketiga di Pondok.Dan yang kutahu hanya mbak Sekar adalah penderita tunawicara.

Aku tak kuat mendengarnya, aku hampir tak percaya dengan apa yang ku dengar. Astaghfirulloh …. Antara percaya atau tidak.Tetapi didalam hatiku sangat menyangkal hal-hal tersebut.Dan firasatku sangatlah kuat.

Tak lama kemudian adzan dhuhur berkumandang, menyadarkan kita dari kegiatan ghibah itu.Acara itupun dibubarkan, kita kembali melakukan kegiatan masing-masing.Namun obrolan tadi masih memenuhi otakku.

Singkat cerita hari demi hari rasa kepoku semakin menjadi.Rasanya ingin menanyakan langsung oleh yang bersangkutan. Oh ya! Ternyata berita pertemuanku dengan mbak Sekar tersebar dengan cepat seantero santri senior.Sebejat itukah mbak Sekar?Tanyaku dalam hati.

Hingga suatu hari aku memutuskan untuk bertemu langsung dengannya.Disaat aku ada jadwal belanja.Aku menyusuri Pasar, sambil mengingat letak kedainya mbak Sekar kemarin. Itu dya! Lagi-lagi ia sedang dalam posisi membaca al-Qur’an. Dengan modus membeli tempe dagangannya, aku mendekati ia. Ia menatapku dengan senyum manisnya. Ia menjajakan dagangannya dengan sopan. Sangat ramah.Malah membuatku semakin ragu dengan berita tersebut. Bukan! Tapi mungkin fitnah-fitnah tersebut.

“Mbak Sekar? Ingat sama saya?” Tanyaku padanya.

“Emmm – “ ia berfikir sejenak, tak lama ia langsung menjawabnya lagi

“Ouh ,…. Ning Wirda ya? Ponakan KH. Abdul Rozaq” masih dengan senyumnya itu. Ternyata ia mengingatku. Ia pun mempersilahkanku duduk disampingnya, ia menjamuku sangat ramah. Bahkan ia yang terus bertanya-tanya tentang keadaan pondok saat ini. Kita bercerita sangat akrab, seperti teman lama yang baru bertemu.

Aku melihat jam tanganku, menunjukan pukul 11.30 wib. Aku sudah harus pulang.Segera akupun berpamitan padanya.Ia pun membalasnya dengan ramah. “Njeh neng Wirda ati-ati. Kapan-kapan main lagi ya…. Salam buat abah Rozaq sama Umi Nur sekeluarga” pesannya padaku.

Selama perjalanan pulang aku terus berpikir tentang apa yang terjadi. Kenapa yang didengar itu tak seperti apa yang terjadi. Kalau emang mbak Sekar itu diboyongkan, kenapa ia masih PD nitip salam buat pak Dhe? Pikiranku terus berkelana.Seperti kasus ini harus dituntaskan.

Hari demi hari akupun terus menerus mbak menemui mbak Sekar di Pasar.Kini aku sudah menjadi santri tetap seksi berbelanja, jadi aku bertemu dengannya, tenang saja aku bukan lesbian kok.Ia selalu memberiku cerita motivasi hebat, memberiku semangat, bersholawat bersama, bak bermain dengan kakak sendiri. Bila ditanya motivasi hidup mbak Sekar ia akan menjawab.

“Sabar, tabah and everything is read al-Qur’an”. Baginya al-Qur’an adalah segalanya, al-Quran adalah hidupnya, begitu katanya disetiap hari. Andai ada santri yang tahu ini, pasti ia takkan difitnah terus menerus. Kenapa bidadari yang seindah ini harus bernasib menyedihkan? Dan dia juga seing mengatakan bahwa kita tak akan tahu arti kehidupan kalau tidak pernah merasakan pahitnya hidup.

Bertahun-tahun hidup sendiri, dicampakan, taka da yang peduli dengannya, apa lagi dulu saat ia masih bisu, taka da cara untuk melampiaskan marahnya dan sedihnya kecuali dengan air mata. Ia pun bertahun-tahun merasakan iri yang luar biasa. Disaat teman seumurannya dapat menghafal dan membaca al-Qur’an dengan Umi, ia hanya dapat mendengarkannya saja, dipojok ruangan lagi. Disaat yang lain dapat bersenandung sholawat di Masjid, ia hanya dapat mendengarkannya lagi. Ia sangat terpukul, ia dulu selalu merasa menjadi orang yang pasif tak berguna. Padahal ia sangatlah ingin menjadi bintang kelas yang aktif diberbagai acara. Ia menahan sakitnya sendiri.

Suatu ketika, akhirnya moment itu datang.Saat kebenaran terungkap.Mbak Sekar tiba-tiba mendadak pendiam tidak seperti biasanya, tatapannya lurus seperti sedang menerawang sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya “Pasti sebenarnya neng Wirda udah lama ya ingin bertanya, kenapa saya sudah tak bisu lagi? Iya kan?” tanyanya. “Dan pasti ning Wirda dulu sempat benci sama saya gara-gara fitnah jahat itu, iya kan ning?” tanyanya lagi dengan posisi yang sama.

Saat itu aku tak kuat tuk mendengarnya lagi, fitnah-fitnah itu sangat tidak mungkin dilakukan oleh seorang mbak Sekar.Akhirnya aku hanya bisa mengangguk pelan.Ia pun tersenyum kecut tanpa menoleh kearahku.

“Ning Wirda boleh percaya atau tidak, tetapi inilah faktanya” ucapnya lirih sebelum akhirnya bercerita.

Ia pun bercerita panjang lebar. Dimulai dari saat ia mulai masuk pondok, dan kejadian waktu ia diajak mondok oleh KH. Rozaq. Lalu ketika ia mulai merasa iri dan tidak berharga, dikucilkan, diremehkan karena keterbatasannya. Lalu ketika ia dibully oleh kakak pondoknya. Lalu ketika ia mulai diangkat menjadi santri ndalem dan sebab KH. Rozaq memilihnya juga salah satunya agar mbak Sekar merasa lebih berharga.Ia mendapat perhatian lebih dari keluarga Ndalem. Nah sejak ini mbak Sekar jadi mulai dibenci oleh para santri.Apalagi ketika KH.Rozaq mengutus Gus Syarif menajdi ustadz khusus untuknya.Fitnah mulai bermunculan.Ia sangat sakit terus menerus difitnah seperti itu, tapi rasa sedihnya hilang ketika Umi Nur memperlakukannya seperti anaknya. Katanya ada saatu pesan Umi yang sangat ia hafal yaitu pesan untuk selalu tabah dan sering-sering membaca al-Qur’an. Kata Umi Nur al-Qur’an adalah teman yang paling setia.

Namun hari demi hari ia semakin tertekan, ia sudah tak tahan lagi. Ia yang saat itu bisu, ia tak bisa melawan apapun dan siapapun semakin tak berdaya. Hingga tiba-tiba KH Rozaq menyuruhnya mengabdi di sebuah Pasar, ia disuruh tinggal di Kos tempat sepupunya beiau. Dan ia disuruh untuk berdagang tempe dan tahu disitu. Awalnya ia tampak keberatan tapi pada akhirnya ia malah sangat mensyukurinya. Hari-harai dilewati dengan senang.Dengan modal mendengarkan pengajian dan bacaan al-Quran lewat radio tua itu, cukup baginya tuk mengisi pendengarannya.Ia sudah tak terusik oleh fitnah-fitnah itu lagi.

Hingga akhirnya kejadian aneh datang.Cicak tiba-tiba jatuh mengenai wajahnya. Sedetik kemudian “Aaaaa” ia pun teriak sangat keras. Ia pun tersadara dengan apa yang sedang dialaminya. Keajaiban datang.Ia sudah tidak bisu lagi. Ia normal. Ia merasakan rasa senang luar biasa. Berkali-kali ia mengucapkan berbagai lantunan pujian untuk Alloh dan Nabi Muhammad. Ia tak pernah merasakan hal sebahagia ini.

Esoknya diam-diam ia pergi ke rumah KH. Rozaq.Ia bercerita tentang keajaiban itu. KH.Rozaq pun tak kalah senang mendengarnya.Tanpa pikir panjang Mbak Sekar meminta izin untuk menghafal al-Qur’an kepada KH Rozaq.Beliau menyetujui. Akhirnya pun ia menjadi seorang penghafal al-Qur’an. Dua tahun berselang, karena kegigihannya akhirnyaia dapat menyelesaikan Qur’annya dengan waktu cepat. Dan tepatnya saat bercerita ini ia tak sanggup lagi menahan air matanya.

Paginya, ia cerita kepadaku, sorenya ia khatam 30 juz dan langsung didoakan di Masjid putri, dipimpin oleh Umi Nur. Ketika ia memasuki area pondok, seluruh sorot mata tertuju padanya. Ini pertama kalinya ia blak blakan datang ke pondok sejak kejadian dulu itu. Biasanya ia pergi ke pondok secara diam-diam dan hanya untuk menyetorkan hafalannya kepada Umi Nur. Tetapi setelah kejelasan terungkap, sorot mata itu berubah menjadi sorot mata bersalah.Umi Nur menjelaskan dan menceritakan kisah hidup mbak Sekar dihadapan santrinya.Air mata turun deras di wajah setiap santri waktu itu.Sejak itu, kehidupan mbak Sekar berubah, taka da lagi hinaan, taka da lagi cacian, tapi yang ada adalah keramahan hati dari setiap orang yang bertemunya. Kesengsaraannya sudah berbuah manis. Ya! Karena ketabahan serta keyakinan kepada Yang Maha Kuasa.

Oh ya! Sedikit tambahan satu minggu setelah acara khataman mbak Sekar berlangsung, tiba-tiba ia dilamar langsung oleh Gus Syarif. Ternyata selama ini Gus Syarif diam-diam mengagumi sosok mbak Sekar lho …. So sweet ya.Dan tak lama setelah itu mereka pun menikah.Dan mbak Sekar serta Gus Syarif hidup bahagia selamanya.