Pesantren telah ada di bumi nusantara sejak abad ke 15 Masehi. Bahkan beberapa peneliti menduga jauh sebelum itu. Sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren memiliki akar kesejarahan yang dapat dirunut hingga pada awal kemunculannya. Meski demikian, kalangan ahli sejarah terdapat perbedaan pendapat dalam menyebutkan kapan pesantren pertama kali ada di Indonesia. Sejarah menyebutkan bahwa Syeikh Maulana Malik Ibrohim dianggap sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Maulana Raden Rahmat atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel, putra Syeikh Maulana Malik Ibrohim adalah tokoh penyebar agama Islam di Indonesia sekaligus sosok yang awal mula mengasuh sebuah pesantren.
Sejak lahir hingga sekarang, pesantren menarik dikaji dari segala aspek, baik dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun system dan metodenya. Salah satu daya tarik pesantren adalah eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang khas Indonesia (indigenous). Indiginitas pesantren dapat dilihat dari beberapa faktor. Pertama, tokoh yang melahirkan pesantren kebanyakan orang-orang yang memahami benar karakteristik dan identitas utama Indonesia. Mereka bergaul, bercengkrama, dan merasakan keluh kesah dan problematika masyarakat Indonesia, sehingga lahirnya pesantren adalah bagian dari problem solving dari persoalan-persoalan sosial. Kedua, nama pesantren banyak diambil dari nama daerah atau identik dengan nama daerah yang menunjukan kecintaan besar pesantren kepada daerah asalnya. Pesantren Tebuireng, Pesantren Termas, Pesantren Lirboyo, Pesantren Sarang, Pesantren Krapyak adalah nama-nama pesantren yang mampu membesarkan nama daerahnya. Ketiga, kurikulum pesantren adalah integrasi antara teks-teks yang dikenal dengan kitab kuning dan budaya masyarakat lokal. Kitab kuning adalah sumber nilai yang akan terus dikaji pesantren, namun masyarakat adalah laboratorium sosial pesantren yang menjadi aplikasi kitab kuning yang menuntut adanya adaptasi dan kontektualisasi. Keempat, cita-cita politik pesantren adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak ada kamus dipesantren untuk mendirikan Negara Islam karena kaum pesantren sadar bahwa ide mendirikan Negara Islam hanya berpotensi memecah belah bangsa baik dengan internal umat Islam atau dengan agama lain. Pesantren meyakini bahwa esensi syariat Islam bisa dilaksanakan di Bumi Indonesia, seperti yang tercermin dalam lima sila Pancasila yang sangat Islami.
Nasionalisme pesantren yang sangat kuat dan kental diatas harus semakin diteguhkan eksistensi dan aktualisasinya ditengah gempuran globalisasi disetiap aspek kehidupan, baik informasi, komunikasi, pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi dan lain-lain. Jangan sampai pesantren terseret ideologi arabisme dan wahabisme yang diterima secara taken for granted, karena membahayakan budaya nusantara dan keutuhan NKRI. Golongan Islamisme tidak boleh memimpin negeri ini karena membahayakan eksistensi NKRI dan mengancam terjadinya polarisasi sosial secara luas. Di Indonesia tidak ada konflik luas dan disebabkan oleh akidah seperti yang terjadi di Timur Tengah yang terus membara antara Sunni – Syiah yang dibumbuhi oleh kontestasi politik global yang sangat dinamis dan kompetitif. Perdamaian, persaudaraan dan kebersamaan sudah menjadi identitas utama bangsa Indonesia yang dikagumi oleh dunia. Potensi positif ini akan terus dikawal pesantren sebagai institusi yang paling dekat rakyat.
Dalam menanggulangi terjadinya konflik dan radikalisme agama di Indonesia, pesantren harus tampil sebagai pioneer-nya. Langkah-langkah yang harus dilakukan pesantren adalah: Pertama, menyebarkan peran kesejarahan tokoh-tokoh pesantren yang aktif membumikan Islam rahmatan lil’alamin yang sarat dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme, seperti KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbulloh, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurahman Wahid, KH. MA Sahal Mahfudz yang aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengembangkan potensi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, baik pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan politik kebangsaan. Penyebaran ini bisa lewat buku, website, majalah, jurnal, facebook, twitter, instagram dan lain-lain.
Kedua, menyebarkan pemikiran dinamis dan progresif para tokoh pesantren, seperti pemikiran Aswaja dan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, pribumisasi Islam KH. Abdurahman Wahid, fikih sosial KH. MA Sahal Mahfudz, saleh ritual saleh sosial KH. A. Musthofa Bisri, tasawuf sosial KH. Said Aqiel Siraj dan lain-lain.
Ketiga, memperluas program pesantren, tidak hanya dalam bidang tafaqquh fiddin, tapi juga pengembangan masyarakat, seperti yang dilakukan KH. Ali Ma’shum lewat kodama di Yogyakarta yang memberikan pendampingan kepada masjid dan tempat ibadah lain disekitar pesantren dan KH. MA Sahal Mahfudz lewat BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dalam pengembangan ekonomi kerakyatan.
Keempat, melakukan kaderisasi muslim nusantara yang militan, berwawasan luas, mampu bergerak dan aktif menyebarkan doktrin dan nilai-nilai Islam Nusantara yang moderat, toleran dan progresif. Pendidikan kader ini sangat penting untuk mempercepat proses sosialisasi Islam Nusantara secara massif dan eskalatif. Pendidikan kader ini harus menggabungkan antara dimensi hati (dzikir – ruhiyah), pikir (intelektual), dan olah jasmani (quwwah Jasmaniyah). PKPNU (Pendidikan Kader Penggerak Nahdlotul Ulama) yang diadakan PBNU bisa menjadi salah satu contoh pendidikan kader yang efektif dan membangun jejaring kader yang efektif dan massif.
Kelima, menggalang sinergi kolektif dengan ormas, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, aparat penegak hukum, dan tokoh masyarakat yang visinya sama dalam kerangka membumikan Islam rahmatan lilalamin demi kokohnya Pancasila dan NKRI.
Lima langka ini mendesak dilakukan pesantren sebagai bukti nyata pesantren dalam mengawal Pancasila dan NKRI yang telah dilakukan oleh para pendiri pesantren tempo dulu. Lima langkah ini menjadi bukti kontinuitas estafet kepemimpinan pesantren dalam menebar Islam rahmatan lilalamin, yaitu Islam Nusantara yang dirintis oleh para wali songo dan para pendiri Nahdlatul Ulama.