KH. Asyhari Marzuqi, lahir di Giriloyo pada hari Selasa Kliwon tanggal 10 November 1939 M atau tanggal 1 Dzulqo’dah 1361 H. Tanggal ini oleh KH. Asyhari Marzuqi dikira-kira sendiri, karena ayahnya (Mbah Marzuqi) tidak menuliskan tanggal kelahirannya. Beliau hanya berkata pada H. Asyhari Marzuqi, “kamu lahir pada saat Jepang memasuki kota Yogyakarta”.
Perjalanan Keilmuannya
Tahun 1949, Asyhari Marzuqi masuk ke sekolah SR (Sekolah Rakyat) yang ada di Singosaren Wukirsari. Akan tetapi, karena letak sekolahan ini berdekatan dengan jalan besar yang sewaktu-waktu ada patroli Jepang, akhirnya sekolah itu diungsikan agak ke timur, tepatnya di Giriloyo, sampai kira-kira Asyhari kecil menginjak kelas 2. Kemudian, kelas tiganya pindah lagi ke Singosaren, kelas 4 dan 5 dipindahkan lagi ke Puroloyo Imogiri dan kelas 6-nya pindah lagi ke Gestrikan (sekarang ada di timur Puskesmas Imogiri).
Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane Kyai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak), pendidikan itu oleh H. Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2 tahun, Tsanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H. Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh KH. Ali Maksum beliau disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (1961), beliau ditawari oleh Kyai Ali untuk melanjutkan studinya di Madinah. Bersama Gus Bik (KH. Attabik Ali, putra KH. Ali Maksum), Asyhari ikut mendaftar. Akan tetapi, pada saat itu yang berangkat Gus Bik. Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah, ternyata Gus Attabik tidak kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. Keinginan Kyai Ali supaya H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.
Pada suatu hari, H. Asyhari Marzuqi datang ke pak Kyai Musaddad yang berada di daerah barat Malioboro. Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya, “Kalau kamu ingin pergi ke Timur Tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad, menjelang GESTAPU (Gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits.
Dunia pendidikan pada saat itu sedang kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur. Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap Rektor (Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan NU-isasi di lingkungan IAIN, sehingga dengan adanya dua permasalahan tersebut praktis tidak ada perkuliahan.
Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi Asshiddiqi, Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorof. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani (sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk menjadi mahasiswa baru IAIN.
Untuk membedakan komponen yang ada di IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang pakai yang warna putih.
Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi, Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Setelah lulus dari IAIN (tahun 1970), keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.
Ada kisah yang cukup terkesan menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan bis. Sehingga apabila ada bis yang ke Gunungkidul pasti penuh sesak oleh penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada seorang penumpang yang berdiri.
Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa Karangsari Kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir. Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir itu bergumam lirih sekali, “Aduh, mati! Stir patah”. Hanya Asyhari yang mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu. Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian jatuh ke kanan. Beliau berserah diri secara penuh kepada Alloh SWT.
Belasan orang meninggal dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki, tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari. Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Hanya ada sedikit luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat, bahkan tidak mengalami pingsan. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.
Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni almarhum (pernah menjabat Ketua PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka. Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah. “Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali. Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya sampai tahun ke-5 berada di Iraq.
Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Sebagian besar berasal dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan “ustadz” karena memang umurnya lebih tua. Orang-orang Kurdistan ini rata-rata mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.
Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa, H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat itu adalah Malik Kuswari Mukhtar orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.
Menikah dengan Nyai Hj. Barokah
Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk melanjutkan S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam UT) yang ada di Kairo Mesir yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah” dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan meninggalkan ujian.
Sekitar awal Maret 1979 H. Asyhari pulang ke Indonesia. Sesampai di rumah oleh Mbah KH. Marzuqi beliau disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Ada beberapa calon yang ditawarkan untuk beliau, akan tetapi barangkali karena belum jodoh sehingga pada akhirnya pilihan jatuh pada Nyai Hj. Barokah, putri ke-5 dari KH. Nawawi Abdul Aziz (Pengasuh PP. An Nur Ngrukem Bantul). KH. Asyhari Marzuqi menikah dengan Nyai Hj. Barokah pada Hari Sabtu tanggal 7 April 1979. Tiga hari setelah menikah beliau mengantarkan isterinya (Hj. Barokah) ke pondoknya di Kediri. Selanjutnya Dua hari kemudian H. Asyhari kembali ke Iraq untuk menjalankan aktivitasnya di Negeri 1001 malam tersebut.
Pada bulan Desember 1979 Nyai Hj. Barokah menyusul ke Bahgdad. Saat itu keinginan beliau melanjutkan untuk S2 sudah melemah. Untuk melanjutkan keilmuannya beliau banyak membaca kitab-kitab/buku, baik di perpustakaan-perpustakaan maupun buku/kitab-kitab yang beliau miliki. Kegemaran membaca ini menjadikan beliau hobi membeli buku/kitab sehingga setiap ada uang dan kesempatan beliau selalu berusaha untuk mendapatkan atau membelinya. Hal itu berlangsung sampai akhir hayatnya. Sehingga, ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1985, ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo, H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah barang bawaan yang banyak lewat kapal laut. Sebagian yang lain buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau tidak tahu di mana hilangnya.
Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar) yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin tidak bisa banyak meninggalkan kenangan pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis sejak dahulu,” kata beliau.
Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf atas nama H. Anwar yang diserahkan oleh KH. Abdul Muhaimin untuk didirikan bangunan pondok. H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan masalah Pondok.
Bulan November tahun 1985 H. Asyhari Marzuqi meninggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir al-Jilani itu untuk kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan di Pondok Pesantren Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada 27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.
Pandangan Hidup dan Mauidzah
KH. Asyhari Marzuqi selalu berusaha menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Ad-dunya Mazro’atul akhirah”, bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena itulah dunia ini dinamakan darut taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah SWT. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai darut taklif, tetapi sebagai darul jaza’, yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.
KH. Asyhari Marzuqi merupakan tipe kyai yang sangat membumi di masyarakat, bahkan ia menerima masukan dari orang-orang di bawahnya. Demikian diungkapkan oleh Zusron, santri Pesantren Nurul Ummah. Zusron juga menambahkan, bahwa Kyai Ashari Marzuqi yang pernah menjadi Rais Syuriyah PWNU DIY tersebut mempunyai kelebihan yang luar biasa yaitu sangat istiqamah. Ketika ia sakit sebelum menjelang wafatnya, ia tetap melakukan mutala’ah masih berjalan walaupun dibantu oleh para santri. “Beliau juga menerima masukan dari para santrinya, karena para santrinya banyak yang ikut organisasi. Selain itu, beliau tetap sabar dan menerima, aktif dalam masyarakat. Bahkan Kyai Asyhari Marzuqi ikut meronda dengan berbaur dalam masyarakat,” tandas Zusron.
Karya Tulisnya
Selama hayatnya, H. Asyhari Marzuqi tergolong orang yang tekun belajar, sehingga banyak karya yang ia hasilkan. Diantaranya karya-karya yang beilau hasilkan adalah :
- Wawasan Islam: Menggapai Kehidupan Qur’ani (1998).
- Risalatul Ummah: Kumpulan Tanya Jawab Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan (2001).
- Memikat Hati dengan Al-Qur’an (Targhibul Khathir fil Qur’an). Tafsir atas al-Qur’an surat al-Fatihah, Juz 30, 29 dan 28 (2002).
- Pedoman Umat: Kumpulan Wirid dan Do’a (2002).
- Risalah Hasan al-Banna : Baiat, Jihad dan Dakwah.
- Risalah Hasan al-Bana : Menuju Sinar Terang. Dua buku ini merupakan hasil terjemahan beliau bersama H. Abdullah Salim Zarkasyi ketika masih di Baghdad Iraq.
Akhir Hayatnya
Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Hari Selasa tanggal 23 Jumadis Tsani 1425 H atau tanggal 10 Agustus 2004 M, adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pada pukul 05.20 WIB di RSU PKU Muhammadiyah beliau meninggalkan dunia ini untuk menghadap ke haribaan Allah SWT. Beliau meninggalkan Seorang Istri, Ibu Hj. Barokah Asyhari dan seorang putra angkat Minanullah serta seluruh santri putra dan putri PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.
Dikutip dari berbagai sumber