عَنْ أَبِى يَعْلٰى شَدَّادِ بنِ أَوْسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عن النَّبِىِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ اتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى الله رَوَاهُ التُّرْمُذِى، وقال : حَدِيْثٌ حَسَنٌ . قَالَ التُّرْمُذِى وَغَيْرُهُ مِنَ الْعُلَمَاء : مَعْنَى دَانَ نَفْسَهُ حَاسَبَهَا
Artinya: “Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus (رَضِىَ الله عَنْهُ), Rasulullah (صلّى الله عليه وسلّم) bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang bisa mengendalikan hawa nafsunya dan berbuat untuk (kepentingan) masa setelah kematiannya. Orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan pada (kemurahan) Allah”. (HR Turmudzi, Dia berkata: Hadits ini Hasan)
MUFRODAT
- الْعَاقِلُ= الْكَيِّسُ : Orang cerdas, orang berakal
- الْعَاجِزُ : Orang lemah
- دَانَ نَفْسَهُ = حَاسَبَهَا : Merendahkan hawa nafsunya = mengendalikan, menguasainya
- تَمَنَّى عَلَى الله : Berangan-angan mendapat kemurahan Allah atau keberuntungan di akhirat
SYARAH HADITS
Akal dan kecerdasan adalah salah satu keistimewaan yang dikaruniakan Allah SWT bagi manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Kecerdasan ini pula yang dapat mengantarkan manusia ke arah kemuliaan, baik kemuliaan dunia maupun akhirat. Di dunia ini, para ilmuwan dan pemimpin yang cerdas mendapat kemuliaannya karena dapat mempengaruhi kemajuan dan kesejahteraan dunia. Di sisi lain, akal manusia juga bisa menjerumuskan ke dalam kejahatan dan kesengsaraan. Mengapa demikian?
Untuk memahami hal ini, ada baiknya kita merenungkan kembali karakter manusia dan tujuan penciptaan manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lain. Dari segi lahiriahnya (wujud fisiknya) manusia adalah makhluk Allah yang paling indah. Dari segi kedudukannya di tengah makhluk lain, manusia adalah yang paling istimewa. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (At-Tiin:4)
Bahkan manusia mendapat mandat dari Allah untuk menjadi penguasa atau pemimpin di bumi, sebagaimana firman Allah:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)
Menjadi khalifah di bumi! Alangkah mulia kedudukan ini. Bahkan para malaikat pun terheran-heran pada saat Allah SWT memperkenalkan makhluk baru bernama Adam (عليه السلام) beserta sifat-sifatnya, makhluk baru dari jenis manusia itu dikehendaki oleh Allah untuk menjadi penguasa bumi. Malaikat dalam keheranannya bertanya kepada Allah: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…” . Memang wajar pertanyaan para malaikat. Sebagai penguasa bumi, manusia memiliki potensi positif dengan kecerdasan akal dan fitrah keimanannya. Di sisi lain manusia juga memiliki potensi negatif berupa hawa nafsu. Kedua potensi ini memunculkan dinamika pada diri manusia dan kehidupan di dunia ini.
Hadits ini memberi batasan tentang makna “cerdas” dengan kalimat yang sederhana dan singkat. Siapakah orang yang cerdas itu? Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang bisa mengendalikan hawa nafsunya dan berbuat untuk (kepentingan) masa setelah kematiannya.” Mari kita kaji bersama-sama kalimat Rasulullah yang penuh makna ini! Apakah batasan Rasulullah SAW tentang kecerdasan sesuai dengan batasan yang diberikan oleh para guru kita di sekolah?
Salah satu ciri orang yang cerdas menurut hadits ini adalah “yang bisa mengendalikan hawa nafsunya”. Mengalahkan hawa nafsu berarti kemampuan seseorang untuk mengelola dan mengontrol emosinya. Dalam ilmu psikologi, kemampuan seperti ini termasuk dalam aspek kecerdasan emosi (Emotional Quotient atau EQ).
Kecerdasan emosi merupakan salah satu potensi pikiran manusia disamping kemampuan intelektektual (Intelligence Quotient atau IQ). Dalam rentang waktu dan sejarah yang panjang, manusia pernah sangat mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ). Kemampuan berfikir dianggap sebagai primadona. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan kemampuan nalarnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Perkembangan sejarah mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
Ungkapan “yang bisa mengendalikan hawa nafsunya” juga mengisyaratkan aspek ketaqwaan pada diri seseorang. Seorang muttaqin senantiasa berupaya menjauhi ma’shiat yang dipengaruhi hawa nafsu karena seorang muttaqin mencari keridhoan Allah. Aspek ketaqwaan ini dalam kaitannya dengan potensi manusia dikenal sebagai kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient atau SQ). Kecerdasan spiritual membuat seseorang mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai ibadah, demi kepentingan umat manusia dan mencari keridhoan Allah SWT.
Hal ini diperjelas dalam hadits ini, bahwa ciri orang yang cerdas adalah “berbuat untuk (kepentingan) masa setelah kematiannya”. Poin ini mengisyaratkan seorang yang tahu tujuan penciptaannya sebagai manusia. Orang yang mengetahui tujuan hidupnya akan memiliki pandangan atau visi yang jauh ke depan. Dia akan menata pola hidupnya dengan cerdas penuh perencanaan demi tercapai tujuan hidupnya. Seorang mukmin yang cerdas tahu bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, bahwa hidup yang sejati dan kekal adalah kehidupan akhirat. Dia memiliki kecerdasan spiritual atau kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap tindakan dan perilakunya. Dia akan berusaha agar tindakan atau jalan hidupnya lebih bermakna dan senantiasa mencari kerihoan Allah SWT.
Hadits ini dengan jelas mengungkapkan bahwa orang yang cerdas adalah yang memiliki bukan hanya kecerdasan nalar (IQ) tetapi juga kecerdasan emosi (EQ) yang diseimbangkan oleh kecerdasan spiritual (SQ). Ungkapan yang disabdakan Rasulullah SAW pada abad ke-14 pada masa ilmu psikologi belum berkembang, namun ungkapan itu terbukti sejalan dengan psikologi modern! Luar biasa bukan?
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih prestasi hidup dan keridhoan Allah SWT. Hal ini membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi orang cerdas, misalnya melalui pendidikan dan lingkungan yang Islami.
Sebagai kebalikan dari orang cerdas, hadits ini menggambarkan orang “bodoh” sebagai orang “lemah”, yaitu “yang mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan pada (kemurahan) Allah” . Penggambaran ini sebagai perbandingan yang seimbang dengan penggambaran orang cerdas pada hadits ini. Jadi sifat “cerdas” atau “bodoh” di sini bukan dalam arti ukuran kecerdasan nalarnya atau menurut istilah sekarang nilai IQ-nya. Namun “cerdas” atau “bodoh” di sini dititik beratkan pada karakter pribadi dan ketaqwaannya.
Orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya adalah orang bodoh, betapapun dia memiliki IQ yang tinggi. Hawa nafsu dapat membawa kehancuran dan kekalahan pada setiap orang dan bahkan kehancuran bangsa. Seorang yang cerdas tapi malas, ceroboh atau pemarah bukan mustahil akan dikalahkan oleh pesaingnya yang berotak pas-pasan tetapi tekun, ulet dan sabar. Lihatlah para koruptor, para pembunuh, penjahat, tidak sedikit di antara mereka yang dikaruniai otak yang cerdas. Para ilmuwan yang tidak dilandasi sikap jujur dan pengabdian, tidak mustahil melahirkan teknologi yang menghancurkan umat manusia.
Orang bodoh juga digambarkan oleh Rasulullah dengan ciri selalu “berangan-angan pada (kemurahan) Allah”. Kelemahan orang bodoh dalam melawan hawa nafsunya sendiri memunculkan sikap sembrono dan seenaknya dalam menjalani hidup. Dia hanya memikirkan kehidupan duniawi yang enak dan mudah, mengabaikan perintah Allah SWT dan melanggar larangan-Nya tanpa rasa takut pada kemurkaan Allah. Kalaupun sesekali dia mengingat Allah, dia tidak bersegera taubat tetapi hanya berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya! Dia berangan-angan mendapat keberuntungan di akhirat tanpa mau berusaha mencari keridhoan Allah! Betapa tolol sikap ini… sikap orang yang lemah, malas dan lalai… Semoga kita terlindung dari sikap semacam ini seraya berdo’a:
اللّٰهُمَّ إنِّى أعُوذُ بِك مِنَ الْعَجْز والْكَسَلِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas…”
Amiin…
FIQH HADITS
- Kecerdasan seorang mukmin bukan diukur dari kecerdasan akal pikirannya tetapi dari karakter kepribadiannya dan muraqabahnya kepada Allah SWT.
- Seorang mukmin yang cerdas memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsunya, dengan kata lain memiliki pribadi taqwa karena memperturutkan hawa nafsu bertentangan dengan ketaqwaan.
- Seorang mukmin yang cerdas tahu bahwa hidup yang sejati dan kekal adalah kehidupan akhirat sehingga dia bertindak/beramal untuk kepentingan akhirat.