Pagi cerah membungkus perkampungan, sejauh mata memandang, terlihat jelas dedaunan, pohon-pohon, juga halaman rumah. Orang-orang disekitar juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Benar kata Bapakku orang disini rajin-rajin, sepagi ini sudah banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang.
Aku berpamitan dengan kedua orangtuaku, dan lalu berjalan meninggakan rumah yang sudah jauh tak terlihat. Hari ini hari senin, aku sangat senang bila hari sekolah kembali masuk. Setelah kemarin libur sehari penuh, dengan semangat aku memasuki gerbang sekolah.
“Selamat pagi, Pak.” Aku menyapa pak Alphin yang sedang membukakan gerbang. Pak Alphin adalah seorang satpam di sekolahku, umurnya sudah diatas 50-an. Tetapi ia tetap setia dengan pekerjaannya.
“Selamat pagi juga, tuan Akmal.” Pak Alphin membalas ucapanku sambil tertawa.
Oh, iya. Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Akmaludin, aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adikku Bernama Zul dan Simek. Aku dipanggil ‘Akmal’. Tetapi dalam situasi tertentu aku dipanggil dengan nama lengkapku ‘Akmaludin’.
Mari kita lanjut ke cerita yang tadi. Di dalam kelas, aku menyapa Afan yang sedang mengerjakan tugas piketnya.
“Hei, Bro. Tumben rajin amat.”
“Kan aku piket kelas, coba aja kalau tidak, aku berangkat jam setengah delapan.” Kami berdua tertawa.
***
Lonceng berbunyi dengan keras. Anak segera berlari cepat menuju kelas masing-masing. Sekolahku tidak begitu besar, temboknya mulai retak-retak dari tahun ketahun, gentengnya juga sudah bolong-bolong, sehingga tampak dari bolongan itu sinar sang Mentari mengintip kelas kami, lantai-lantai juga sudah banyak yang berlubang. Tapi, aku tidak peduli dengan itu.
“Selamat pagi, anak-anak.” Suara lantang pak Vio mengalihkan pandanganku.
“Selamat pagi, pak.” Semua siswa menjawab serempak ucapan pak Vio.
Pak Vio adalah guru satu-satunya di sekolah kami, pak Vio umurnya sudah setengah abad ke atas, tapi beliau tetap semangat mengajar di sekolah kami, pak Vio punya banyak cara unik untuk mengajar di sekolah kami.
“Oke anak-anak, sekarang kita akan belajar tentang pahlawan, apa kalian tahu tentang pahlawan?” Seisi kelas terdiam, termasuk aku yang saat ini sedang bingung apa itu ‘pahlawan’
“Nah, anak-anak, pahlawan itu adalah seseorang yang berjasa, yang dengan sukarela mengorbankan harta, pikiran, dan bahkan jiwa untuk sesama, paham belum anak-anak?”
“Paham, pak.” Seisi kelas menjawab serempak.
“Oke, kalau kalian sudah paham, sekarang kalian coba menulis satu halaman full. Bapak mau ke kelas sebelah. Mengerti anak-anak.”
“Mengerti, pak.” Aku dengan sigap langsung mengambil selembar kertas dan pensil untuk menulis sebuah karangan, tangan-tanganku dengan cepat menulis apa yang ada di dalam benakku. Entah mengapa aku mendadak punya banyak ilham tulisan melimpah.
***
Lonceng pulang sudah berbunyi, aku dengan cepat memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas.
“Oke, anak-anak. Karena waktunya habis kita tutup dengan bacaan Hamdallah bersama.” Pak Vio menutup pelajaran di kelas kami dengan khidmat.
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin.”
“Nak, kalian sekarang boleh pulang.” Kami serempak berdiri, kemudian beranjak menyalami beliau, beliau tersenyum tulus saat aku meyalaminya. Dan dia mengatakan beberapa kalimat yang akan selalu kuingat.
“Akmal, di dunia ini banyak orang-orang yang baik, jika kamu tak menemukannya, maka jadilah salah satunya.” Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Assalamualaikum, pak Vio.”
“Waalaikumussalam.”
***
Aku masuk rumah dengan gembira, adik-adikku menyambutku dengan antusias, aku meletakkan tasku di samping lemari, lalu aku merebahkan tubuhku di Kasur sambil melihat atap-atap rumah yang sudah berlubang.
Rumahku tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu besar. Ada tiga kamar yang berjejer rapi. Satu, kamar untuk orang tuaku, satunya kamarku – karena aku sudah besar, maka ada kamar khusus untukku, dan satunya kamar Zul dan Simek. Di sisi lain juga ada ruang tamu, ruang makan dan juga satu kamar mandi di belakang rumah.
“Mal, sudah salat belum?” terdengar suara mamakku tercinta.
“Belum, mak. Sebentar lagi, capek aku habis sekolah.”
“Jangan banyak alasan! Segera ambil wudhu dan sembahyang. Ajak juga adik-adik kau untuk salat.”
“Iya, mak. Segera.”
Dengan malas aku beranjak dari Kasur dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, lalu aku salat berjamaah di kamar Bersama adik-adikku. Usai salat aku berdoa sebentar kepada Tuhan pencipta alam semesta seisinya.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kedua orangtua kami, guru-guru kami, pahlawan kami yang gugur dalam membela tanah air. Dan jangan lupa, ampuni kami juga ya Allah, serta hindarkanlah kami dari siksa api neraka.”
“Aaamiiiinnnn.” Adik-adikku menjawab serempak.
***
Bulan muncul menggantikan matahari, semula yang terang menjadi gelap. Burung-burung yang berkicau tergantikan oleh suara jangkrik-jangkrik merdu.angin berhembus semakin kencang, sehingga malam yang gelap ini bercampur dingin.
Aku cepat-cepat bergegas ke ruang makan. Aroma rendang memanggilku agar aku cepat-cepat menyantapnya, mamak sedang mengambil sayur yang tertinggal di dapur. Sedangkan bapak dan adik-adikku sudah siap tinggal menunggu mamak.
“Akmal, sudah cuci tangan belum?” Eh, aku ketahuan Bapak sedang hendak mencicipi rendang terenak di dunia.
“A…a…nu…belum, pak. hehhehe.” Jawabku sambil cengar-cengir.
”Sana, cuci tangan dulu!”
“Iya, sana cepet, kak. Cuci tangan dulu, udah laper nih, iya kan, Mek?” Zul menyuruhku juga.
“Iya, kak. Cepat dong! Simek juga udah laper, nih!” Simek juga ikut-ikutan menyuruhku.
“Huh, Bawel.” Aku menjawab dengan ketus sambil kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Setelah itu aku kembali lagi ke meja makan.
“Nih , liat. Udah bersih, kan.” Aku memamerkan tanganku yang bersih.
“Sudah, sudah. Jangan debat terus, ayo sekarang kita makan rendang super lezat se-dunia ini.” Bapak menengahi kami setelah melihat mamak sudah Kembali ke meja makan.
“Gassskeeuunn.” Kami serempak berteriak, dan menoleh satu sama lain. Dan kemudian tertawa.
***
“Mal, kamu udah punya setoran, belum?” tanya Afan. Afan adalah temanku.
Rumahnya hanya beberapa langkah dari rumahku. Kita bersahabat sudah lama.
“Waduhh, aku lupa. Ah, aku ganti saja nanti dengan membaca Al-Quran.”
“Emang boleh, Mal?”
“Bolehlah, yang penting kan kita mengaji.” Aku menjawab dengan santuy.
Kami mengaji di rumah kakek Arya, beliau sudah mengajar lebih dari dua puluh lima tahun. Usianya lebih tua daripada pak Vio. Beliau sangat disegani di kampung ini.
“Malam ini dingin banget, ya Mal.” Afan memberitahuku.
“Enggak kok, biasa-biasa aja.”
Afan menghembuskan nafas dengan kecewa mendengar jawabanku, sambil menepuk pundakku, lalu berlari.
“Ayo balapan, Mal!. Yang nyampe duluan menang.”
“Woi, curang kau.” Aku berlari menyusulnya dengan cepat.
***
Aku pulang terakhir, adik-adikku sudah pulang dari tadi. Afan juga pulang awal, tinggal aku Bersama kakek Arya di tempat ini. Setelah selesai mengaji, aku berpamitan kepada kakek Arya.
“Assalamualaikum, kek.”
“Waalaikumussalam, hati-hati. Akmal.”
“Iya, kek.” Aku melambaikan tangan kepada beliau.
Aku berjalan di sini melewati jalan setapak. Pada waktu itu lampu-lampu masih sedikit yang dipasang. Sehingga jalanan masih tampak remang-remang. Aku melewatinya dengan agak was-was, dan terus berjalan sambil membaca doa-doa yang pernah diajari oleh kakek Arya.
Srek srek srek
Aku menoleh ke arah semak-semak dengan jantung berdegup kencang sambil masih membaca doa doa tadi.
Srek srek srek
Suaranya semakin dekat, dan dekat. Sehingga muncullah seseorang yang tak kukenal. Orang itu memakai masker hitam duckbill, dan memakai topi Starcroos sehingga aku agak sulit melihat wajahnya.
“Halo, anak kecil. Ikut sama Om yuk!” Ajak seseorang itu sambil mengeluarkan sebilah senjata tajam
“Enggak, Om. Aku gak mau.” Aku menolak keras ajakan itu saat dia mengeluarkan senjata tajam. Aku ingat sekali jalan ini. Setahuku jalan ini aman-aman saja, tetapi mengapa ada orang asing disini. Aku pun langsung berpikir cepat sebelum orang itu macam-macam denganku. Aku hendak berlari ke belakang, namun sayang dibelakangku sudah ada seseorang lagi yang menungguku. Aku bingung setengah mati. Aku berpikir lagi, lagi ,dan lagi. Tetapi kedua orang itu semakin dekat, aku tak tahu harus kemana lagi, keaadanku sangat mendesak.
“Kau tidak bisa lari, anak kecil.” Salah satu dari mereka bersuara.
Aku berharap ada keajaiban di sekitar sini, aku langsung merencanakan sesuatu jika seseorang dari mereka lengang, tetapi mereka semakin dekat, sambil mengacungkan pisaunya. Aku pun hanya bisa berdoa kepada Allah swt. Aku hanya bisa pasrah saat kondisiku seperti ini. Dan sepertinya doaku terkabul. Saat mereka hendak menusukku, tiba-tiba keajaiban itu datang. Muncullah seseorang di balik semak-semak, dan langsung menyerang kedua begal itu. Orang tersebut menendang kepala salah satu dari begal tersebut dan langsung menyerang yang satunya lagi, pertarungan itu sangat sengit, salah satu dari begal tersebut hendak menggunting seseorang yang menyelamatkanku, tetapi orang yang menyelamatkanku itu menghindar cepat. Seseorang yang menyelamatkanku itu meninju salah seorang begal itu dan langsung tepar. Tapi seseorang itu lelah , dan tidak tahu kalau dibelakangnya masih ada satu begal lagi yang hendak menyerangnya, aku bergegas menyelamatkan seseorang itu tetapi sayang, aku kalah cepat dengannya. Begal itu sudah menusuk seseorang itu dari belakang dan dia menendangku setelah melihat aku ingin menyelamatkannya. Aku pun jatuh terkapar dan memegang dadaku yang terasa sesak. Aku melihat sekilas begal itu sedang membopong begal yang tadi terkapar jatuh, dan pergi menjauh entah kemana. Aku berusaha bangkit dan menghampiri seseorang yang menyelamatkanku tadi. Saat aku melihatnya, tubuhku langsung bergetar semua , aku tak bisa menahan tangis, aku tak percaya ini , aku shock setengah mati. Lihatlah , seseorang yang telah mengajariku dengan tulus , seseorang yang punya banyak cara unik untuk mengajar di sekolahku, pak Vio. Sekarang tertidur lemas di hadapanku. Beliau menggenggam tanganku dan berkata :
“Akmal, kau anak paling spesial yang pernah bapak temui , bapak bangga denganmu , nak. Teruslah belajar dan jangan menyerah , ya. Ingat, apapun rintangan yang kau hadapi , teruslah maju , jangan mundur sedikitpun. Bapak titip salam buat bapak dan mamakmu, ya.” Pak Vio menghembuskan nafas terakhirnya.
“Pak, pak, pak Vio. Jangan tinggalkan Akmal , pak. Siapa yang akan mengajar di sekolah nanti, pak. Dan siapa juga yang akan mengoreksi karangan Akmal. Pak, pak Viooooo.” Aku menangis di hadapannya. Aku tertunduk. Lesu tak bisa berbuat apa-apa.
Nyawa pak Vio tidak terselamatkan . Aku kehilangan sosok yang sangat aku idolakan. Dan engkaulah salah satu guruku di sekolah. Aku akan selalu mengingatnya pak Vio. Jasamu akan kukenang selalu. Engkau pahlawan tanpa tanda jasa. Selamat tinggal pak Vio.
Oleh: Muhammad Azka Rifai. Santri Kelas Persiapan, asal Jakarta.