Tahun ini merupakan Hari Santri Nasional ke-7 yang sama-sama kita peringati di bumi pertiwi. Bertepatan pada 22 Oktober 2015 lalu, Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Jokowidodo meresmikannya di masjid Istiqlal Jakarta. Tujuan dari peringatan Hari Santri Nasional ini untuk mengingat kembali berikut meneladani semangat jihad para ulama dan santri terahulu dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI. Juga Ittiba’ kepada KH. Hasyim Asyari sebagai pahlawan Nasional yang waktu itu menyerukan jihad pada 22 Oktober 1945. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan. Sekutu yang dimaksud adalah Inggris, sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Di belakang tentara Inggris, rupanya ada pasukan Belanda yang ikut membonceng atas hal terebut.
Faktor lain yang melatarbelakangi penetapan HSN ini adalah pengakuan resmi pemerintah Repblik Indonseia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI. Yang mayoritas dipelopori oleh kalangan santri. Ini sekaligus merevisi beberapa catatan sejarah Nasional, terutama yang ditulis pada masa Orde Baru yang hampir tidak pernah menyebut peran Ulama dan kaum Santri dalam kontribusinya mempertahankan NKRI.
Seputar Pesantren Dan Madrasah Di Indonesia
Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak wadah instansi pendidikan berbasis agama, salah satunya biasa disebut dengan pondok pesantren. Menurut data Kementerian Agama per Januari 2022, sebanyak 26.975 pondok pesantren yang dimiliki bumi pertiwi. Jawa Barat menjadi urutan pertama daerah yang memiliki jumlah pesantren terbanyak dengan total 8.342 pesantren. DI Yogyakarta sendiri berada di urutan ke delapan dengan total 319 pesantren. Adapun pesantren yang memiliki santri terbanyak berada di daerah Jawa Timur dengan total 4.452 pesantren. Di luar konteks pesantren, tanah air beta juga masih memiliki tampungan pendidikan berupa lembaga majelis keagamaan, organisasi masyarakat, dan semacamnya.
Lembaga survei manapun, pasti kewalahan jika ingin mengetahui jumlah santri secara detail di Indonesia. Karena santri tidak hanya tertampung dalam satu wadah, melainkan pada jumlah yang begitu komplek. Pun ketika identitas seorang santri tidak hanya terpaku pada sebuah legalitas. Semua orang yang beragama muslim, berhak menjadi santri. Meskipun pada mayoritasnya, santri akan terdata pada sebuah instansi lembaga berupa pondok pesantren dan madrasah.
Selama ini pesantren masih diidentikkan hanya sebagai pendidikan non formal oleh sebagian masyarakat. Padahal saat ini pendidikan pesantren sudah berkembang sangat luas, tidak hanya ada jenis pendidikan non formal, melainkan ada juga jenis pendidikan formalnya. Jika diklasifikasikan, pendidikan pesantren non formal dikenal dengan pendidikan pesantren salafiyah yang berbasis pada pengajian kitab kuning. Sedangkan pendidikan pesantren formalnya terdiri dari Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Mu’adaalah (SPM) yang untuk jenjang Ula (setara SD/MI), Wustha (setara SMP/MTs), dan Ulya (setara SMA/MA). Kemudian untuk jenjang pendidikan tinggi formal disebut Ma’had Aly. Jadi, pada jenjang Ma’had Aly, para santri dapat menempuh maraih gelar sarjana, magister, hingga doktor.
Di samping itu, pendidikan formal pesantren terdapat juga istilah yang disebut Pendidikan Kesetaraan. Dalam kategori kategori ini, para santri yang bermukim di pesantren dapat mengikuti pendidikan paket A, B, C. Dengan begitu, legalitas ijazah mereka dapat setara dengan SD, SMP, hingga SMA.
Secara spesifik, syarat pendidikan formal pesantren harus berada di lingkungan pesantren itu sendiri, dan tidak boleh di luar pesantren. Lalu harus ada pengajian kitab kuning, di samping juga boleh menambahkan materi-materi keilmuan lainnya. Persyaratan tersebut sudah termaktub dalam Undang-Undang Pesantren yang sering disebut Arkanul Ma’had yang berjumlah 5 syarat pendirian pesantren, di mana salah satunya terdapat pengajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah.
Saat ini, jumlah Satuan Pendidikan Mu’adah (SPM) di seluruh Indonesia ada sebanyak 138 lembaga. Sedangkan Pendidikan Diniyah Formal (PDF) berjumlah 113 lembaga.
Selain itu, SPM dan PDF memiliki keunikan tersendiri yakni mempunyai kebebasan untuk menyusun kurikulum, hanya saja harus berbasis kitab kuning. Masing-masing pendidikan formal juga berkewajiban memasukkan materi pelajaran umum, seperti Pancasila, Kewarganegaraan, hingga matematika.
Kendati memang santri diberikan porsi materi pelajaran umum, akan tetapi porsinya tidak terlalu besar sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selanjutnya, khusus untuk standar kelulusan PDF jenjang Wustha dan Ulya, para santri harus mengikuti tahapan yang disebut Imtihan Wathani atau Ujian Nasional. Untuk penyesuaian, biasanya terdapat kisi-kisi soal yang disampaikan kepada para santri di PDF.
Peran Santri Untuk Agama Dan NKRI
Posisi santri sebagai garda depan agama dan bangsa, tidak boleh terputus di tahun 45. Pondok pesantren harus lebih bangkit dan maju dengan segala bentuk eksistensinya di era globalisasi. Porsi terbesar kedua setelah pondok pesantren ialah madrasah. Dan setelahnya disusul dengan organisasi masyarakat. Semua wadah tersebut memiliki banyak sekali anak didik yang disebut dengan santri, mengasah kemampuan santri, mengembangkannya, dan kemudian tumbuh lagi bibit baru dari hasil pengembangan itu.
Seiring dengan berkembangnya zaman, pondok pesantren tidak hanya melulu dengan kajian kitab klasik (qutuubutturaats) atau juga disebut dengan kitab kuning. Banyak sekali perkembangan hingga kemajuannya. Life skill pondok pesantren dapat bersaing, bahkan mengungguli kaum terpelajar non pesantren. Karena tidak sedikit kalangan yang menilai pondok pesantren dengan pandangan sebelah mata, remeh, norak, primitif, dan pandangan buruk semacamnya. Terlalu membuang waktu jika kita hanya tenggelam pada opini-opini demikian.
Pondok pesantren memang menjadi ladang subur untuk para santri sebagai bibit yang dipupuk, sehingga bisa tumbuh melanjutkan tugas manusia di bumi sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah:30). Islam juga lebih intensif dikaji secara mendalam di dunia kepesantrenan. Melalui para santri inilah, agama ini bisa tetap terjaga.
Bagi negara, santri memiliki fungsi utama dalam menopang dan mengimplementasikan sila pertama pada Pancasila. Yang kemudian dari sila pertama itu, diikuti oleh empat sila selanjutnya. Mengapa harus santri? Karena di lingkup pondok pesantren, prinsip dan nilai yang terkandung pada Pancasila betul-betul diterapkan setiap waktu. Sehingga santri sudah terbiasa.
Tantangan Santri Di Era Modernisasi
Generasi milenial benar-benar disajikan oleh raksasa globalisasi yang begitu deras arusnya. Perubahan teknologi berhasil memberikan banyak sekali suplai untuk kebutuhan manusia. Yang primer, hingga sekunder. Dengan adanya teknologi ini, manusia lebih mudah dalam banyak melakukan aktifitasnya meskipun terhalang maya. Dan memang pada realitanya, akhir ini dunia maya lebih banyak mencuri waktu dibandingkan dunia nyata. Meskipun sifat maya itu barawal dalam rangka untuk mempermudah suatu kemaslahatan. Gadget menjadi contoh besar. Semua kalangan, semua lingkungan, dan semua usia. Gadget bisa menuntun arus sosial dan budaya.
Santri dapat mudah mendapatkan sesuatu dengan media (take), pun juga mudah membagikannya (share). Akan tetapi era moderenisasi juga menuai beberapa masalah. Penyalah gunaan media. Siapapun yang menggunakan media, tidak hanya merasakan positifnya, namun juga dampak negatifnya.
Moderniasi jelas mempengaruhi fikiran, perkataan, dan perbuatan. Ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi santri. Ketika hidup di lingkup pesantren yang 24 jam dikawal dengan basis keagamaan. Namun, bagaimanapun bentuk disiplin di pesantren, santri tidak akan bisa menutup mata dengan gegap gempita dunia luar, gadget kian menjamur dimana-mana.
Jika diukur dari segi tirakat, ikhtiar, upaya dhahir bathin dengan santri terdahulu, jelas jauh berbeda. Jauh sekali. Mencari ilmu pada era milenial di negara Indonesia yang aman tentram gemah ripah loh jinawi seperti sekarang ini tentu dirasa jauh lebih nyaman. Namun tidak jarang bahwa kenyamanan mudah menuntun seseorang pada kejerumusan. Na’udzubillah. Maka faktor pendukung (support sistem) dari berbagai kalangan sangat dibutuhkan. Orang tua, guru, lingkungan, berikut penunjang kehidupan. Kembali kepada prinsip bahwa kita ini adalah seorang muslim yang saling menopang dan membantu muslim yang lain. (QS. At-Taubah:71)
Renungan Hari Santri Nasional
“Sampai kapanpun kita adalah santri” (Abuya Assayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani). Letakkan pangkat dan jabatan. Fokus pada satu status, santri. Meskipun kita berada pada santri di era yang seperti ini. Namun apapun ujiannya, bagaimanapun pahitnya, dan seberat apapun bebannya, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan kita. Rentetan ujian itu sudah Allah atur, sudah sesuai dengan porsi kita (QS. Al-Baqarah:258). Banyak mengeluh tidak akan membuahkan hasil. Mengeluh sewajarnya monggo. Belajar dari filosofi kelapa, semakin tinggi pohonnya, maka semakin kencang pula anginnya. Hanya pohon kelapa yang kuat yang tidak tumbang ketika tertiup angin kencang. Jika tidak ingin ada angin kencang, boleh pilih menjadi rumput. Namun posisi rumput berada di bawah dan diinjak. Seperti itu, hidup adalah pilihan. Semoga mealui momentum Hari Santri Nasional ini, tidak hanya sebagai event formalitas saja. Tapi juga momentum renungan akan semangat (ijtihad) untuk lebih baik kedepannya. Selamat belajar menjadi santri sejati.
Oleh: Zahri Hammad. Santri Takhassus, asal Surabaya Jawa Timur.