Di pagi hari, ketika matahari setinggi tombak tanda waktu dhuha telah tiba. Di desa terpencil, yang jauh dari pengapnya udara dan panasnya bumi di perkotaan terdapat sebuah keluarga kecil. Inilah keluargaku yang kini tak utuh lagi karena ayah ku telah meninggal dua bulan yang lalu. Dan kini, aku tinggal bersama ibu dan kedua adikku yang baru berusia tiga dan empat tahun. Kami hanya hidup sederhana dengan pekerjaan ibu yang menjadi salah satu guru TK di daerahku.
“Najib, bangunkan adik-adikmu, mereka belum sholat subuh,” seru ibu membubarkan lamunanku.
“Iya, Bu.” Jawabku dengan kaget.
“Sarapan dulu, nanti kamu tidak semangat dalam mengerjakan soal.”
Setelah selesai sarapan, aku bergegas berangkat sekolah. Sementara adik-adikku belum beranjak juga dari tempat tidurnya. Memang mereka sedikit nakal semenjak kepergian ayah. Dulu kami sangat takut kepada ayah karena beliau memang tegas dalam mendidik anak-anaknya. Aku sebagai kakak tertua harus menjaga ibu dan kedua adikku ini. Dan yang pasti harus ikut mencari nafkah untuk kehidupan kami. Tetapi, karena aku masih sekolah jadi belum bisa membantu ibu untuk mencari uang.
“Bu, Adib kangen sama ayah.” Sambil menangis adikku termuda ini terus memeluk ibu.
“Ayahmu sudah tenang disana, bukankah setiap hari kamu mengirim fatihah untuk ayah ?”
“Iya, tapi Adib pengen ketemu ayah.’
“Kita dipertemukan karena Allah dan akan dipisahkan juga karena Allah. Yakinlah nak, ayah selalu disampingmu untuk menjagamu walaupun kamu tak bisa melihatnya.” Jelas ibu sambil mengelus-ngelus kepala Adib.
Dulu ketika ayah masih ada, kami selalu sholat berjama’ah dan mengaji bersama. Dan kini, tak ada lagi imam bagi keluarga ini kecuali aku yang masih anak-anak. Kami mulai menghafal juz amma dan surat-surat penting seperti waqi’ah, ar-rohman, al-mulk, yasin dll, tentunya dengan bimbingan ayah dan ibu. Aku ingin menjadi seperti orang tuaku yang telah menjadi penghafal al-qur’an. Ingin sekali rasanya bisa sema’an bareng satu kelurga tanpa memegang al-qur’an. Dan semoga mimpiku ini dapat tercapai.
Kata ibu, seorang penghafal al-qur’an itu besok pada waktu kiamat tiba, akan membawa bendera surga dengan membawa 10 tiket masuk surga. Dan aku akan mendapatkan tiket itu insyaalloh atas rahmat dan hidayah-Nya. Aku akan membuat ibu dan ayahku disana meneteskan air mata kebahagiaan dan bangga terhadap anak-anaknya.
Hari ini adalah hari yang menentukan bagiku karena harus menempuh UN setelah enam tahun aku belajar di Madrasah Ibtidaiyah di desaku. Aku yakin dengan belajar yang sungguh-sungguh juga dengan berdo’a aku akan mendapatkan nilai yang baik dan tentunya memuaskan.
“Assalamu’alakum buk.” Aku pulang lebih awal karena aku sudah selesai UN.
“Wa’alaikum salam, sudah pulang nak, bagaimana ujianmu?”
“Alhamdulillah lancar, semoga nilainya memuaskan.” Jawabku dengan penuh harap.
“Amin, ibu selalu mendo’akanmu”.
Tiga haripun sudah lewat. Kini aku tinggal menanti pengumuman dan memikirkan mau sekolah kemana setelah ini. Sebenarnya aku ingin sekali meneruskan sekolah ke kota. Tetapi, biaya yang menjadi kendalanya. Lagi pula, kalau aku ke kota siapa yang menjaga dan melindungi keluarga kecilku ini, bukankah aku yang paling besar. Aku sangat berharap ada sebuah keajaiban yang datang kepadaku, agar aku dapat dengan mudah meraih mimpiku ini.
“Assalamu’alaikum”. Tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah datang kerumahku dengan membawa map merah.
“Wa’alaikum salam, silahkan masuk pak”. Jawab ibu sambil mempersilahkannya masuk kedalam rumah.
“ Ya, terimakasih bu Fatimah”.
“Ada keperluan apa bapak kerumah kami?”
“Begini buk, kami dari sekolah turut berbangga kepada Najib karena ia adalah murid terbaik di madrasah baik umum maupun dalam urusan agama, jadi kami akan menawarinya untuk nyantri dan melanjutkan sekolah di kota, apakah ibu dan Najib bersedia ?”
“Alhamdulillah, apakah bapak bersungguh-sungguh?”
“Iya buk, saya bersungguh-sungguh dan semua biaya sudah di tanggung oleh pemerintah.”
“Terimakasih banyak pak, kami tak tau harus bagaimana untuk membalas budi kepada bapak”.
“Itu bukan hanya dari kami saja, itu adalah jalan dari Allah untuk kebaikan Najib.”
Mendengar perkataan Bapak Kepala Sekolah tadi, aku dan ibuku bersujud syukur. Inilah jawaban dari Allah yang selama ini kami tunggu. Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberikan yang terbaik untuk keluarga kami. Dan tanpa berpikir panjang kami menerima tawaran tersebut. Senang sekali rasanya, ingin ku cepat-cepat untuk berangkat.
Sebelum hari keberangkatan tiba, aku menyempatkan diri untuk ziarah ke makam ayah. Suasana makam yang sepi membuat ziarah kali ini terasa khusyuk. Ibu menasehatiku untuk selalu menjaga diri, jasmani maupun rohani. Kunci sukses itu adalah dengan belajar dan berdo’a. Serta waktu itu adalah ilmu, jadi pergunakan waktu sebaik-baiknya. Aku sudah memantapkan diriku untuk belajar dan menghafalkan al-qur’an.
Hari keberangkatan pun telah tiba. Aku sudah siap dengan beberapa tas besar di sampingku. Tak lupa aku berpamitan dengan ibu, kedua adikku dan beberapa sanak saudara juga tetangga-tetanggaku. Dengan diantar Bapak Kepala Sekolah dan pak guru lainnya aku sudah siap untuk menuju taman ilmu dan taman surga.
“Hati-hati ya nak, jangan memikirkan ibu dan adik-adikmu di rumah. Belajar yang rajin dan jangan buat ibu juga ayahmu kecewa”.
“Iya buk, aku akan membuat bangga ayah dan ibu, assalamu’alaikum”. Pamitku dengan mencium tangan ibu.
“Wa’alaikum salam, do’a ibu menyertaimu”.
Inilah kehidupan baruku. Jauh dari keluarga, semua serba sederhana dan mandiri web link. Disini aku akan menghafalkan al-qur’an dan belajar dengan sungguh-sungguh untuk menggapai mimpiku, juga mimpi kedua orang tuaku tentunya. Setiap tiga bulan sekali ibu selalu istiqomah untuk menelponku dan menanyakan kabar.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun telah berlalu. Kini aku yang duduk di kelas 9 MTS telah berhasil menuntaskan jenjang ini dan khatam al-qur’an dengan lancar. Lima bulan sudah ibu tidak menelponku. Karena mulai panik dengan keadaan ini, aku segera menelpon ibu dan memberikan kabar bahwa aku telah berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
“Assalamu’alaikum buk, bagaimana kabarnya?” kataku memulai percakapan ketika ibu mengangkat telfonnya.
“Wa’alaikum salam, baik, Jib. Kamu sendiri bagaimana?”
“Alhamdulilah baik, kok tumben ibu tidak menelpon, Najib?” tanyaku kepada ibu.
“Maaf, Jib, ibu sibuk mengurusi adik-adikmu yang mulai besar semakin sulit untuk diatur.”
“Oh, begitu. Alhamdulilah Najib telah menyelesaikan ujian dan menghafalkan al-qur’an bu, dan rencana khataman serta wisuda purna siswa akan diadakan minggu depan.
“Alhamdulillah nak, ibu bangga padamu. Jangan lupa bersyukur kepada Allah. Semoga kamu bisa jadi anak yang bermanfaat untuk semua.” Jawab ibu dengan suara yang teputus-putus karena menangis.
“Amin, minggu depan Najib akan pulang untuk menjemput ibu, persiapkan semuanya ya”.
“Ya, tetapi nanti ketika Najib menjemput ibu, jangan kaget dengan keadaan rumah ya.”
“Memangnya kenapa buk?” tanyaku penasaran.
“Besok kamu akan tau sendiri. Ya sudah jaga diri baik-baik, jaga adik-adikmu jika ibu sudah tidak ada nanti, Assalamu’alaikum”.
“Iya buk, Wa’alaikum salam”.
Seminggu kemudian aku bersiap untuk menjemput ibu. Dengan diantar oleh pengurus pondok aku siap menuju rumah. Di sepanjang jalan, aku masih memikirkan kata-kata ibu yang menyuruhku untuk tidak kaget ketika pulang. Memangnya apa yang akan terjadi? Mungkin ibu mempersiapkan kejutan untukku. Atau rumahku telah di renofasi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku berusaha untuk positif thinking saja.
Sampai di perempatan jalan yang tak jauh dari rumahku aku melihat bendera kuning tanda ada yang meninggal. Siapa yang meninggal? Aku semakin bertanya-tanya karena sesampainya di rumahku banyak tetangga serta kerabat-kerabatku yang menyambutku dengan penuh duka cita.
Adik-adikku menghampiriku dengan muka basah penuh dengan air mata. Mereka mengatakan kepadaku bahwa ibu sudah meninggal tadi pagi. Aku yang tak percaya langsung masuk kedalam rumah tanpa menghiraukan adikku dan orang-orang yang mengerumuniku.
Ternyata alasan ibu pada saat di telfon bahwa aku tidak boleh kaget terjawab sudah. Ternyata dugaanku semua salah, dan apa yang kulihat? Tubuh kecil kurus, yang sudah terbujur kaku dan tak bergerak lagi terbaring di depanku. Wanita paruh baya yang mendidik dan merawatku dari kecil sampai sekarang kini telah tiada. Seorang ibu yang selalu menyayangi anak-anaknya dengan penuh kasih sayang kini hanya tinggal kenangan. Wanita yang sangat kucintai ini meninggalkan kami. Kutatap wajah cantiknya, kucium pipi halusnya, dan ku sholatkan raganya.
Khataman Al-qur’an dan Wisuda Purna tanpa kehadiran orang tua. Inilah hal yang paling aku takuti kini terjadi. Aku belum sempat untuk meminta maaf kepada ibu. Tetapi ia telah lebih dulu meninggalkanku. Adib menghampiriku sambil memberikan selembar kertas dari ibu untukku. Dan isi surat itu adalah :
“Assalamu’alaikum. Najib, mungkin ketika kamu membaca surat ini, ibu sudah bahagia bersama ayahmu di surga. Ibu bangga kepadamu nak, sekarang kamu sudah tau kan alasan kenapa tidak boleh kaget ketika pulang? Ibu tidak mau kamu tau tentang penyakit ibu selama ini yang pada akhirnya telah merenggut nyawa ibu. Tetapi ini memang sudah jalan dari Allah untuk kita.
Kamu sudah menggapai mimpi kita selama ini. Jangan berhenti sampai disini. Masih panjang perjalananmu, dan banyak kesuksesan lain yang menantimu. Jaga adik-adikmu, buat mereka menjadi sepertimu. Jaga nama baik keluarga kita. Semua biaya hidup dan harta waris untuk kalian telah ibu titipkan kepada om Rohmad. Ibu dan ayah akan menjaga kalian dari sini. Ibu dan ayah sayang kalian semua. wassalamu’alaikum.”
Tak terasa air mata ini terus menetes membasahi pipiku.
Ayah, ibu, kini impianku menjadi penghafal al-qur’an telah tercapai. Aku janji akan selalu berusaha untuk menggapai mimpi-mimpiku. Aku sayang kepada kalian dan aku bangga menjadi penghafal al-qur’an karenamu ayah dan ibu.
Alivia Fatimatuzzahro’