Wonosari, (PPDQWI) – Puji syukur kepada Allah dan tidak lupa untuk bersholawat kepada Rasulnya, tim sholawat PP. Darul Qur’an Wal Irsyad kini kembali hadir, baik dalam lingkup Ma’had sendiri seperti kegiatan rutinitas maulid, hingga pengambilan video clip yang diunggah di ranah media official pesantren. Tim yang memiliki nama Syawariqul Anwar tersebut memang sempat vakum selama beberapa waktu karena satu dan lain hal. Alhamdulillah, berkah dorongan dari banyak pihak, akhirnya firqah ini bisa kembali menyajikan lantunan solawat dengan diiringi alat musik yang ada, sehingga dapat menambah kecintaan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Seiring berjalannya waktu, tentunya ada hal baru yang dapat dipersembahkan untuk menambah nikmat dalam bersholawat. Hal ini selaras dengan apa yang sudah lama didambakan oleh Abina KH. Kharis Masduki. Lirik sholawat atau naskah qasidah ala Syiri’ah dengan pelengkap Dzikir Rifa’I. Persis dengan suasana dahulu ketika Abina masih menimba ilmu di Ribath Darut Tauhid al-Malikiyah Rushaifah bersama Abuya Assayyid Muhammad Bin Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahullah. Alunan qasidah yang didendangkan oleh munsyid kaliber Internasional. Seperti Abuya Assayyid Abbas bin Alawi Alawi al-Maliki al-Hasani, Syaikh Umar Dhobba, Syaikh Hasan Al-Haffar dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tentang qasidah syiri’ah dan dzikir Rifa’I sebagai pelengkapnya, memang masih feminim dan tidak banyak dipraktikan oleh kebanyakan pesantren di Indonesia. Karena memang sholawat yang seperti itu lebih banyak ditemui di Negara bagian Arab Timur, Turki, Maroko, Mesir, dan Suriyah. Adapun awal mula sejarah masuknya Dzikir Rifa’i di Nusantara, pertama kali diterima oleh suku Melayu. Namun lambat laun hal tersebut banyak disingkirkan karena anggapan dari banyak masyarakat awam Dzikir Rifa’I adalah hal sesat. Padahal dzikir tersebut jelas tuntunannya yakni dari Imam Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i, beliau berasal dari Turki dan bermadzhab Syafi’i. Nasab beliau sampai pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Beliau Imam Rifa’I juga menjadi salah satu tokoh Sufi termuka pada masanya.

Sholawat dengan menggunakan versi Syiri’ah ini tidak hanya menjadi hal baru yang akan menambah kenikmatan bersholawat. Terlebih dari itu, para santri mendapatkan wawasan tersendiri tentang berbudaya dalam agama, yang jelas menambah pengetahuan budaya bersholawat di pelbagai belahan Negara. Tidak hanya budaya sholawat di Nusantara seperti Izhari, Banjari, Habsyi, tapi juga Syiri’ah berikut dzikir Rifa’i. Dan ketika santri sudah memiliki wawasan serta pengetahuan yang luas, santri tersebut tidak akan mudah menyalahkan, atau justru saling tuduh menyesatkan. Salah satu dawuh guru besar kita Abuya Assayyid Muhammad, Seorang yang memiliki wawasan yang luas ia tidak mudah menyalahkan.

Kembali pada sholawat itu sendiri, Abuya Assayyid Muhammad juga sering menyampaikan, baik itu pada majelis ta’lim atau forum terbuka. Sholawat tidak perlu ijazah, tidak perlu guru, tidak perlu metode. Karena sejatinya hal tersebut berangkat dari firman Allah  dalam Surah Al-Ahzab ayat 56 yang intinya Allahpun bersholawat dan menyeru orang beriman untuk bersholawat. Demikian ketika sholawat dilaksanakan dengan berbagai macam cara dan terlebur dalam banyak budaya. Yang semua bermuara pada satu tujuan. Yaitu untuk mengesakan Allah dan memuji Rasulnya.

Di samping sholawat sebagai bentuk ungkapan rasa cinta kepada Rasul dan mediator bermunajat kepada Allah, sholawat juga menjadi daya pikat tersendiri bagi sebagian besar masyarakat di Nusantara. Bukan hanya sekedar media visual religius, tapi juga daya pikat dan motorik dalam kemajuan suatu instansi keagamaan. Lebih tepatnya pondok pesantren. Tidak sedikit pondok pesantren yang unggul di bidang kesenian berupa sholawat. Dan juga sholawat menjadi khas sendiri pada beberapa pondok pesantren tua di Indoneisa. Begitu pula untuk Firqah Syawariqul Anwar, selanjutnya insyaAllah juga akan berkembang di dunia gambus dan marawis, sehingga dapat dinikmati oleh berbegai kalangan yang minatnya amat beragam.

Besar harapan, untuk kedepan Syawariqul Anwar dapat memberikan daya pikat tersindiri kepada masyarakat luas, sekaligus syi’ar kesenian yang dapat merangkul dan diterima oleh semua kalangan. (Zahri)