Oleh: Muhammad Hilmi Asyrofi
(Wisudawan Inspiratif ITB Bandung, Alumni Ma’had Darul Qur’an Wal Irsyad)

Ngaji, wirid, khidmah, tiga kombinasi tersebut merupakan ramuan mujarab dari Pengasuh PP Darul Qur’an wal Irsyad, KH Ahmad Kharis Masduki. Tiga kata yang saya peroleh ketika menempa diri di Ma’had Darul Qur’an. Kata-kata yang masih terngiang-ngiang di benak saya sampai sekarang. Kata-kata ini yang membantu melancarkan milestone kehidupan saya hingga saat ini.

Perkenalkan, saya Hilmi, alumni Ma’had kita tercinta, yang baru saja mendapatkan predikat Wisudawan Inspiratif dari Institut Teknologi Bandung. Sekarang saya sedang ber-khidmah di Singapore Management University untuk mengaji (baca: belajar) terkait Quality Assurance of Artificial Intelligence System.

Kalau tidak salah, 5 Agustus 2011 merupakan hari pertama saya menimba ilmu di Darul Qur’an. Tak berbeda jauh dengan santri lainnya, awal-awal di pesantren saya merasa tidak betah dan ingin pulang. Hari pertama saya di pesantren bertepatan dengan hari kelima Ramadhan. Hati saya semakin bergejolak, saya tidak pernah tarawih sehari satu setengah juz sebelumnya. Ditambah lagi menu sahur dan berbuka yang tidak sesuai selera; rasanya hambar dan seringkali sayur terong (kami menyebutnya sate agar lebih enak didengar). Bahkan saya pernah menangis ketika dijenguk orang tua saking tidak kuatnya. Alasan saya bertahan saat itu adalah saudara saya yang menjadi pengurus pondok tergalak waktu itu. Saya tidak mungkin mempermalukan wajahnya karena saya tidak betah dan kemudian keluar.

Seiring berjalannya waktu, saya yang dulunya tidak suka makan sayur-sayuran, menjadi tidak pilah pilih makanan hingga sekarang. Saya menjadi bersyukur mendapatkan apapun makanan yang ada. Sebuah pelajaran yang tidak mungkin saya dapatkan kalau tidak mondok. Kalau kata Mas Nyoto (Ustadz Jurumiyah waktu itu), “Dipaksa, Terpaksa, Terbiasa”. Mungkin kalau boleh saya menambahkan, akan menjadi “Dipaksa, Terpaksa, Terbiasa, Luar Biasa”. Yup, di kehidupan nyata memang seperti itu juga, terkadang kita harus dipaksa agar melakukan sesuatu. Kalau kata seorang motivator, “kita harus keluar dari comfort zone untuk membuat perubahan yang besar”.

Mas Nyoto merupakan Komandan Roan (Khidmah) waktu itu. Beliau memiliki peran penting dalam mengoprak-oprak santri untuk membangun yayasan DQ, mulai dari asrama hingga madrasah. Seperti hal sebelumnya, saya yang awalnya tidak suka roan menjadi terbiasa roan di sini. Bahkan menurut saya, hal ini dapat menjadi amal jariyah karena bangunan tersebut digunakan untuk kebaikan setiap hari. Saya selalu percaya bahwa hal inilah yang melancarkan beberapa fase hidup saya hingga saat ini. Jadi bagi santri yang masih di pesantren, manfaatkan roan dengan sebaik-baiknya ya!

Wirid merupakan kunci yang kedua karena wirid mengisi rohani kita. Tidak bisa dipungkiri, wirid yang diamalkan di Ma’had kita adalah wirid-wirid yang dikarang oleh para Auliya’ di masanya dan sekarang diamalkan oleh para Kyai terkemuka. Bagi para santri, sebaiknya kita mencari tahu tentang wirid yang kita amalkan sehari-hari, mulai dari pengarangnya, asal usul, dan kegunaannya. Dengan mengetahui hal tersebut, kita akan merasa lebih mantap dalam melafalkan dan yakin dalam mengamalkan. Mengutip nasihat dari Pak Akhyar yang kurang lebih seperti ini “Nek gak ruh gunane wirid iku opo yo bakal tekan neng Gusti Allah, mung neng lambe thok ngono” au kama qol. Alhamdulillah berkat bimbingan Pak Akhyar, saya pernah menorehkan prestasi di Musabaqah Qiraatil Kutub cabang Tafsir Hadits kategori ‘Ulya.

Kunci yang utama adalah ngaji. Pak Imron, ustadz nahwu shorof pertama saya, pernah mengatakan “Be professional in one thing, then everybody will see you”. Dalam mengaji, kita perlu menjadi yang terbaik dari yang terbaik, bukan menjadi santri yang setengah-setengah. Kalau slogan dari Pak Wahab, “jadilah yang unik”, artinya kita harus mempunyai hal yang membuat kita berbeda dari yang lain. Setiap orang memiliki passion yang berbeda-beda. Kita perlu memaksimalkan perbedaan tersebut agar menjadi unik. Jangan memaksa ikan belajar untuk terbang dan memaksa burung untuk berenang, kamu justru akan membuat keduanya mati.

Menurut saya, mengaji dapat di berbagai bidang asalkan ilmu yang kita pelajari tidak melanggar syariat. Pada masa Golden Age of Islam, islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia dengan beberapa ilmuwan terkenalnya seperti Al-Khawarizmi di bidang matematika dan Ibnu Sina di bidang kedokteran. Peradaban islam saat itu bisa begitu maju karena menghargai ilmuwan yang berasal dari kebudayaan yang berbeda (Yunani, Romawi dan Persia). Mereka berkolaborasi bersama membangun dunia ini dan berkontribusi mengembangkan ilmu untuk menjadikan dunia lebih baik.

Di era Revolusi Industri 4.0 sekarang ini, santri sebenarnya memiliki bekal softskill yang cukup banyak. Seperti yang dicetuskan pada World Economic Forum, terdapat 10 skill utama yang dibutuhkan dalam menghadapi era revolusi industri. Saya yakin, santri menguasai 3 skill teratas, yaitu complex problem solving, critical thinking, dan creativity. Kita sebagai santri yang hidup mandiri, pasti teruji skill complex problem solving-nya. Berbagai masalah yang kita alami selama menjadi santri dapat kita selesaikan melalui proses berpikir yang kritis (critical thinking) dan kreatif (creativity).

Dengan berbagai keterbatasan selama di pesantren, santri mencoba memaksimalkan potensi yang ada. Sebagai contohnya, ada salah satu teman saya dulu, sebut saja Tedy, yang membalik sandalnya agar tidak di-gosob. Sandal sw*llow tersebut dibalik permukaan bawah menjadi atas agar unik. Bahkan ada juga yang sandalnya sampai digembok. Salah satu skill lagi yang dimiliki santri adalah cognitive flexibility. Yup, santri sudah terbiasa hidup di lingkungan yang heterogen dengan teman yang berbeda-beda. Santri sudah flexible dengan lingkungan tersebut sehingga tidak kaget ketika berada di lingkungan yang baru dan bahkan santri akan mudah beradaptasi.

Santri sudah dilatih untuk merasa nerima dan apa adanya sehingga lebih produktif menjalani hidup. Maaziltu tholiban, selamanya aku menjadi santri. Selama itu juga, kita harus menjaga prinsip dan softskill yang kita peroleh di Ma’had Darul Qur’an.

Namun sayangnya dibalik beberapa softskill yang mumpuni tersebut, santri NU kurang terbuka dengan ilmu lain seperti matematika, fisika, biologi, ekonomi, dll. Beberapa bidang tersebut biasanya dikesampingkan dengan dalih tidak ada hubungannya dengan agama. Mengutip dari kajian Gus Mus di Jombang[1], beliau menerangkan bahwa pemisahan ilmu agama dan ilmu umum yang terjadi di Indonesia saat ini adalah warisan para penjajah terdahulu. Penjajah Belanda punya tabiat yaitu ingin masyarakat Indonesia tetap bodoh. Salah satunya yaitu membuat masyarakat Indonesia ilmunya tidak utuh. Orang yang ahli agama didesain tidak paham ilmu matematika, sains alias ilmu umum, begitu juga sebaliknya. Selain pandangan Gus Mus tersebut, menurut Dr. Humaidi dalam bukunya[2], dikotomi agama dan ilmu umum telah menimbulkan dampak negatif terhadap struktur ilmu pengetahuan, tatanan hidup manusia, dan alam semesta. Oleh karena itu, banyak ilmuwan mencoba mencari titik temu antara ilmu umum dan agama.

Hubungan antara islam dengan sains & teknologi seperti daging dan kuku, tidak dapat dipisahkan karena mereka memainkan peran penting dan berkontribusi dalam membangun peradaban manusia. Sains & teknologi membawa kemakmuran, kemudahan dan kenyamanan, sementara Islam memimpin umat manusia menuju kebahagiaan dan kemakmuran dalam hidup di dunia dan akhirat. Kalau kata Gus Thoriq, “Tidak ada ilmu yg sia-sia, tidak ada ilmu yg lebih utama, semua setara dan semua ada kegunaannya”.

Kenapa mempelajari ilmu umum penting juga? Ilmu umum (sains & teknologi) memiliki peranan penting dalam memajukan kehidupan. Sebagai contohnya Gojek, platform yang memudahkan kita untuk berpindah tempat, membeli makanan, dan mungkin hampir semua kebutuhan hidup dapat kita penuhi. Di sisi lain Gojek meningkatkan kesejahteraan driver ojek (Go-Ride), penjual makanan (Go-Food), laundry (Go-Clean), dan bahkan sampai tukang pijit  (Go-Massage). Saya pernah bertemu dengan salah satu pendiri Gojek, Kevin Aluwi. Kevin saat itu mengatakan bahwa Gojek dapat besar seperti sekarang ini karena memiliki social impact yang luas. Banyak sekali lapisan masyarakat yang terbantu dengan adanya Gojek.

Kembali ke masalah dikotomi ilmu, hal ini menyebabkan santri NU jarang masuk di perguruan tinggi seperti ITB, UGM, dan UI. Padahal sebenarnya di kampus tersebut membutuhkan santri NU agar ajaran islam di kampus tersebut tidak dikuasai golongan lain. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus top biasanya mendapat cap islam radikal. Sebagai salah satu alumni ITB, saya mengakui hal tersebut. Namun yang disayangkan lagi, hal ini justru membuat santri menjadi semakin enggan masuk ITB, bukannya masuk dan bergerak menjadi agent of change membuat suatu perubahan. Santri harus berani membangun militansi NU di berbagai kampus top di Indonesia. Jika kita tidak mulai dari sekarang, yang saya takutkan adalah kaum radikal semakin membesar karena mereka menguasai teknologi dan keilmuan modern.

Salah satu teman saya, Azuma Muhammad (Al-Azhar, Mesir) berpendapat bahwa fenomena tersebut terjadi karena daya gebrak santri NU dirasa masih kurang. Santri NU jauh lebih unggul secara kualitas intelektual, dialektika dan dinamika keilmuan, namun mental kita kurang berani untuk menampakkan diri. Sebagai contohnya di dunia maya, menurut saya belum ada public figure dari NU yang secara gamblang berdakwah untuk menyasar generasi milenial. Memang sudah ada beberapa Tokoh NU yang berdakwah menggunakan sosial media seperti Youtube dan Instagram, namun cara dakwah mereka cenderung menggunakan cara lama. Cara tersebut tidak salah, namun untuk dapat menyebarkan dakwah yang lebih luas, kita perlu public figure dari NU yang dapat meng-upgrade metode dakwahnya sehingga lebih disukai generasi milenial.  Pendidikan yang dogmatis membuat pesantren kurang menghasilkan lulusan yang mampu merespon perkembangan zaman. Santri NU kurang mampu merangkul kaum urban kota yang mempunyai preferensi khusus dalam memilih guru dakwahnya. Saya yakin santri Darul Qur’an ataupun alumni memiliki kapabilitas untuk menjadi public figure yang dapat berdakwah dengan cara milenial. Indonesia membutuhkan kontribusi kita untuk mengisi dakwah di dunia maya.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini :). Terimakasih juga kepada Gus Thoriq Ziyad, Gus Azuma Muhammad, dan Neng Azzuhaira Hamida yang telah memberi masukan dan komentar, sebelum tulisan ini dipublikasikan. Saya mohon maaf tulisan ini kurang memuat Hadits atau ayat Al-Quran, karena saya yakin lebih banyak ahlinya di Darul Qur’an untuk membahas hal tersebut. Untuk para santri Darul Qur’an dimanapun kalian berada, jangan lupa amalkan nasihat pengasuh “Ngaji, Wirid, Khidmah”. Jadilah apa yang kamu mau, Indonesia dan NU membutuhkan kontribusi dan perubahan darimu!

Singapura

17 Desember 2019