santri

Disebuah keluarga, tinggallah seorang ayah, ibu dan kedua anaknya yang bernama Sodik dan adiknya yang bernama Handik. Sodik masih duduk dibangku kelas 1 SMA dan adiknya duduk di bangku kelas 4 SD.

Kebiasaan Sodik selalu pulang malam. Sodik dan Handik sangat berbeda. Handik setiap malam selalu belajar dan mengerjakan PR. Handik juga terkenal dengan anak yang rajin, pintar, sopan,  baik. Handik adalah murid teladan di sekolah. Dia selalu mendapatkan juara 1 di kelas. Sedangkan Sodik paling suka balap motor. Sodik sudah sering terlibat dalam kasus balap motor liar. Ketika Sodik melakukan aksinya dengan geng motornya. Teman-teman Sodik berhasil lari dari kejaran polisi, sedangkan Sodik ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.

Tiba-tiba ayah sodik menerima telfon dari kantor polisi

“ Maaf pak, apa benar ini dengan keluarga  Sodik”

“ Iya benar. Saya ayahnya Sodik, terlibat apa lagi anak saya pak?”

“Anak bapak terlibat balap liar yang membahayakan orang lain”

“Maaf pak. Maafin kelakuan anak saya. Saya janji akan mendidik anak saya lebih baik lagi. Tolong bebaskan anak saya”

“Baik pak, ini peringatan terakhir kali, jika anak bapak masih seperti ini saya tidak akan mengasih kesempatan”

Ayah sodik langsung menyeret sodik masuk kedalam mobil.

“Apa yang kamu inginkan Sodik, apa kamu ingin mencoreng nama baik ayah dan ibu”

“Tidak Yah, aku tidak tau kalau kejadiannya akan seperti ini lagi, maafin aku yah, bu”

“Sekarang ayah tidak akan mengampuni kamu, sekarang tekad ayah dan ibu sudah bulat ingin mondokin kamu di Pesantren”

“Aku tidak mau, ibu tolong bujuk ayah bu, aku tidak mau”

“Besok ayah antar kepesantren”.

Sesampai di rumah, Handik mengabari ayah, ibu, kakak kalau nilai ulangan Handik mendapat 100. Ayah langsung menggendong Handik dengan rasa senang. Handik langsung terdiam ketika melihat mata kak Sodik berkaca-kaca.

“ Yah kenapa kak Sodik sedih”

“Paling ada masalah dengan kakakmu, sudah lupakan ya”

Di pagi hari kak Sodik menangis bersama ibu, aku bingung kenapa kak Sodik menangis.

“Bu kenapa kak Sodik menangis”

“Kak Sodik ingin sekolah di pesantren”

“Terus nanti aku gak bisa ketemu kak Sodik bu”

“Udah, sekarang Handik bantuin kak Sodik masukin baju ke dalam koper yaa?” Terdengar suara ayah

“Bu udah selesai belum?”

Sodik diantar ke pesantren, di perjalanan Sodik masih memberontak tidak mau di Pesantren, ibu selalu menasihati kalau disana harus ikut tata tertib pesantren. Handik menangis sambil memeluk kakak yang paling disayangi. Sesampai di Pondok Pesantren Nurul Qur’an, langsung mendatangi kediaman H. Nazar. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qur’an. Di kediaman H. Nazar, ayah dan pak Nazar berbicara dan memohon agar aku diterima di pesantren. Pak Nazar melihatku dengan tersenyum. Ayah, ibu dan adikku meninggalkanku di penjara. Yang sangat tidak aku sukai, tiba-tiba pak Nazar memanggil putranya yang bernama Yusuf. Dia juga masih duduk di kelas 1 SMA, saya ditunjukin kamar dan diajak keliling pondok pesantren. Ketika aku diajak melihat pesantren, mataku langsung tertuju kepada salah satu tempat, ternyata itu masjid dan disana aku melihat bidadari tanpa sayap, wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih dihalangi oleh sebuah kerudung berwarna merah, dia memakai kaca mata, tanpa sadar kakiku bejalan kearah wanita berkaca mata.

“Sodik apakah kamu sudah melaksanakan sholat dzuhur”

“Belum, mari kita berjamaah setelah selesai sholat nanti kita lanjutkan lihat-lihatnya”

Ketika aku mengambil wudhu, dibenakku masih bertanya-tanya siapa wanita berkaca mata itu. Adzan maghrib berkumandang, ketika aku mengambil air wudhu aku melihat wanita berkaca mata, dengan memakai baju kurung berwarna putih, bersih dan wajahnya yang tampak cerah seperti bidadari.

Ketika sholat maghrib selesai, dilanjutkan dengan tadarus Qur’an di Masjid, aku selalu mencari jalan untuk bisa melihatnya dan berkenalan. Aku berkata didalam hati “kayaknya sulit bisa kenalan dengannya karena Yusuf selalu bersamaku”. Setelah sholat isya’ Yusuf kembali ke kamar untuk beristirahat. Sebelum beristirahat Yusuf menggati baju kokonya dengan kaos, setelah mengganti baju ia menyempatkan untuk menggosok gigi, wudhu dan membaca doa sebelum tidur. Sedangkan aku dikasur sambil membayangkan wanita berkacamata sampai aku ketiduran.

Pukul 03.00 WIB aku terbangun untuk menunaikan sholat tahajud, dan menata buku untuk pertama kali aku sekolah disini. Aku berangkat sekolah bersama Yusuf, kami duduk bersama. Ketika Yusuf memperkenalkan aku kepada temannya. Ada gadis yang jalan disampingku. Wanita itu membuat aku penasaran. Dia berjalan sambil menundukan kepalanya, ternyata dia wanita berkacamata. Dia satu kelas denganku.

Ustadz memasuki kelas ….cring…jam istirahat. Yusuf mengajak sodik pergi ke kantin.

“ Dik kamu ingin pergi membeli makan di Kantin”

“Tidak, Sodik memilih jam istirahat di kelas. Yusuf, apakah kamu mengenal wanita yang duduk di bangku belakang”.

“Iya, dia Anisa”, kenapa Dik?”

“Tidak, aku hanya ingin tahu dia lebih dekat lagi”

“Anisa adalah anak yang rajin, pintar, cantik dan ramah”. “Apakah kamu suka terhadap dia Dik?”

“ Ya aku suka dia semenjak pertama bertemu”

“Aku juga menyukai Anisa”

Sodik menantang Yusuf untuk mendapatkan Anisa. Yusuf menerima tantangan yang dilontarkan Sodik, mereka sekarang tidak bersama.

“Dik kamu tidak akan bisa mendapatkan Anisa, karena Anisa sukanya sama laki-laki yang tampan, pintar, hafidz yang mungkin tidak seperti kamu yang hanya seorang pembalap liar dan tidak tahu agama”

“ Ya, aku hanya seorang pembalap liar tapi aku mempunyai hati yang baik, aku akan buktikan kalau Anisa akan suka kepadaku”

Semenjak diadakan taruhan Sodik menjadi rajin beribadah, belajar dan membaca al-Qur’an. Dua tahun berlalu, ujian kelulusan besok akan dimulai, Sodik menunggu-nunggu waktu itu. Ujian kelulusan sudah dilalui sekarang, Sodik hanya menunggu hasil kerja keras dia belajar setiap malamnya. Pengumuman kejuaraan segera diumumkan. Hati Sodik berdebar-debar ketika ingin mendengarkan hasil kejuaraan. Sodik berdzikir tidak berhenti-henti.

“Juara 1 diperoleh oleh Sodik”

Sodik mendengarkan dengan bahagia. Ayah ibu Sodik sangat senang melihat anak yang dulunya tidak pernah bisa diandalkan keluarga.

“Juara 2 diperoleh oleh Anisa”

“Juara 3 diperoleh oleh Yusuf”

Yusuf tidak menyangka Sodik bisa menjadi siswa teladan. Setelah penyerahan piagam Sodik langsung memberi selamat kepada Anisa.

“Assalamu’alaikum Anisa”

“Wa’alaikumsalam”

“Aku ingin ngomong sesuatu Nis”

“Tentang apa Dik”

“Sebenarnya aku sudah lama suka kamu sejak pertama melihatmu”

“Aku tidak bisa, karena aku ingin melanjutkan sekolahku, aku juga ingin membahagiakan orang tuaku, karena aku belum bisa bahagiakan kedua orang tuaku”

“Maaf kalau aku sudah lancang bilang itu sama kamu”

“Aku juga belum bisa bahagiakan kedua orangtuaku dan orang disekitarku”

“Kalau keinginanku, ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, anak yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara”

“Makasih kamu sudah memotivasi aku lebih baik hingga aku bisa juara 1 dan tau apa itu agama”

“Selamat ya Nis kamu bisa mendapatkan juara 2”

“Tidak, yang seharusnya bilang selamat, aku bukan kamu, selamat ya Dik?”

“Tidak, itu mungkin hanya kebetulan. Ngomong-ngomong kamu ingin nerusin dimana Nis, kamu ingin ngambil jurusan apa?”

“Aku juga tidak tahu ingin nerusin dimana, Insya alloh aku ingin ngambil jurusan fiqih” sedangkan kamu apa Dik?”

“Aku juga bingung ingin nerusin dimana, aku ingin ngambil jurusan dakwah”

“Semoga keinginan kita berdua dikabulkan Tuhan. Semoga Alloh mempertemukan kita kembali, dimanapun itu”.

Wassalam

 Mar’atus Sholihah