Oleh: Ahmad Mutamakkin Fawaaid
Santri Delegasi PBNU di Madrasah Ta’limul ‘Atiq Al-Fath, El-Aioun Sidi Mellouk Maroko, Alumni Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad 2019

Awal mula sampai di Maroko, saya sering mendengar ungkapan dari kakak kelas supaya tidak gumunan di negeri matahari terbenam ini. Nasehat mereka kurang lebih sebagai berikut, “Idza kunta fil maghrib, falaa tastaghrib”. Dan sampai saat ini, yang bikin saya kagum adalah tradisi menghafal al-Qur’an di Maroko yang luar biasa. Bayangkan bagaimana takjubnya ketika anda ke pasar dan pedagangnya menawarkan barang, mereka suka ngutip sebagian ayat-ayat al-Qur’an disela ngobrol, sering juga kita mendengarkan murottal di setiap tempat seperti salon, warung, dan terminal. Bahkan sopir taksi biasa mengemudi sambil memutar murottal, dan bibirnya umak-umik melantunkan ayat suci al-Qur’an. Bahkan suatu saat saya pernah ditanyain sopir grand (taksi besar), dan konon ini adalah pertanyaan yang sering mereka utarakan, “anta thalib? Min ayi balaad? Kam hafizta minal qur’an?”. Mungkin pertanyaan inilah yang membuat para kakak kelas bergidik sehingga sering berpesan ke saya agar tidak mengaku pelajar jika ditanyain orang, hehe. Pada akhirnya semakin kesini semakin terjawab juga ke-gumunan saya saat itu.

Di Maroko hafal 30 juz al-Qur’an menjadi standarisasi seorang anak sebelum masuk ke lembaga pendidikan formal, terutama pendidikan formal agama (ta’lim ‘atiq). Suatu saat saya pernah menanyai salah satu anak di madrasah kuttab, kalau dilihat dari umur seharusnya ia sekarang kelas satu SMP/sederajat. Saya menanyakan kapan dia masuk sekolah? Padahal dari pagi sampai sore dia di sini. Lalu anak itu menjawab bahwa ia keluar dari sekolah, dan akan bersekolah lagi setelah khatam al-Qur’an. Konon, orang tua di sini tidak mau menyekolahkan anaknya jika belum hafal al-Qur’an. Maka jangan heran apabila 10 pemuda Maroko berkumpul, tidak berlebihan jika kita menebak tujuh di antaranya adalah haamilal qur’an. Begitulah budaya menghafal al-Qur’an di Maroko yang menakjubkan.

Masyarakat Maroko mempunyai budaya dan metode yang unik ketika menghafal al-Qur’an. Di setiap kota banyak ditemui madrasah tahfidz, atau masyhur disebut madrasah kuttab. Kenapa disebut kuttab? Karena menghafalkannya dengan cara menulis di lauh (papan), yang terbuat dari batang pohon zaitun, dan umumnya berukuran 50 x 15 cm. Adapun proses menghafalnya dimulai pagi hari sekitar jam 8. Sebelum menulis lauh akan dilaburi dengan senshal (batu kapur). Setelah lauh dilaburi senshal dan sudah benar-benar kering kita akan duduk melingkari faqih, syekh yang membimbing kita di kuttab biasa disebut faqih. Jika sudah duduk rapi kita harus siap dan memasang telinga kita dengan baik. Saat itulah ayat demi ayat didektekan oleh sang faqih. Kita menulis lalu menghafal semampu kita, biasanya satu sisi papan untuk menulis satu tsummun (satu setengah halaman al-Qur’an pojok). Kita menulis dengan sebilah hibr (pena dari bambu) yang dicelupkan ke diwaya (tinta). Setelah kelar menulis, tulisan kita akan dikoreksi oleh faqih dan beliau juga memberi tanda waqof yang seragam. Selanjutnya sebelum dihafal kita diharuskan membaca lauh itu secara binnadzor dihadapan faqih, supaya tidak salah dalam melafalkannya ketika dihafal. Kita diberi waktu sampai bakda asar untuk menghafal lauh itu. Perlu diketahui bahwa para faqih sangat keras mendidik santrinya. Sekali gojek, akan kena pukul paralon panjang, apalagi telat masuk dan tidak hafal lauh, hukumannya adalah dijunjung bareng-bareng dan kakinya akan dipukuli oleh faqih. Pagi hari selanjutnya kita diharuskan menyetorkan hafalan kemarin sore. Apabila benar-benar sudah mengakar di kepala, maka faqih akan mengijinkan kita untuk menghapus lauh untuk menambah hafalan lagi. Namun cara menghapus lauh juga tidak boleh sembarang, biasanya kita mencuci dan menggosok lauh di wastafel yang air sisa basuhan ayat suci tersebut ditampung, tidak dibuang, akan tetapi dipakai untuk menyirami tanaman. Setelah lauh bersih maka laburi lagi dengan senshal, lalu dikeringkan. Biasanya ditengah proses pengeringan lauh ini kita diperintah untuk murojaah hafalan yang sudah dihafal. Selanjutnya ketika lauh sudah kering baru kita bisa menambah ayat untuk ditulis dan dihafal lagi.

Kerajaan Maroko merupakan salah satu dari sedikit negara yang saat ini menggunakan qiraat Imam Nafi’ dari riwayat Imam Abu Sa’id Utsman bin Sa’id Al-Mishry (Riwayat Warasy) sebagai pedoman bacaan al-Qur’an secara resmi. Berbeda dengan kita di Indonesia yang popular menggunakan qiraat Imam ‘Ashim  dari riwayat Imam Hafsh bin Sulaiman Al-Kufi (Riwayat Hafsh). Namun, selain berbeda dari segi bacaan yang pasti aneh dan asing di telinga kita, di Maroko juga mempunyai mushaf sendiri yang jauh berbeda, mushaf itu disebut ‘Mushaf Maghriby’. Bayangkan huruf dan syakal saja berbeda dengan kebanyakan al-Qur’an yang kita baca. Semisal huruf  fa’ yang titiknya hanya satu di bawah, huruf  qof  yang titiknya satu di atas, huruf  hamzah seperti angka tiga, huruf shod/dhod yang tidak ada giginya, dan penggunaan syakal dhomah yang mirip sukun, tanwin yang setengah lingkaran dan masih banyak lagi. Dan tentunya saat santri kuttab menulis lauhnya harus sama persis sesuai kidah penulisan mushaf di sini, seperti huruf mati tanpa suara yang tidak boleh dikasih tanda sukun, peletakan huruf hamzah digaris atau di tengah garis atau di atas garis?, huruf nun, fa’, qof  yang tidak dikasih titik ketika di akhir kalimat. Tentunya dengan kebiasaan kita membaca dan menulis yang berbeda, di awal masuk kelas akan mengalami banyak kesulitan, tapi tidak masalah, karena faqih di sini sangat baik, mau mengajarkan dengan sabar dan telaten bagi kita santri ajanib.

Banyak sekali manfaat yang dirasakan ketika kita menggunakan metode tahfidz bi lauhah dalam fase menghafal al-Qur’an. Alasan pertama adalah kita akan lebih fokus saat menghafal, karena mata kita hanya tertuju pada satu sisi dari lauh itu sendiri, daripada menghafal lewat mushaf  yang mata kita bisa jelalatan melihat ayat atau halaman lain. Alasan kedua ialah kita bisa mudah mengingat ayat-ayat yang kita hafal, karena membayangkan ayat yang telah kita tulis. Alasan ketiga yaitu lebih percaya diri dan puas karena menghafal melalui tulisan tangan kita sendiri. Alasan keempat yaitu menjadikan proses menghafal dengan menulis di lauh sebagai sarana yang tidak menjemukan daripada menghafal dengan cara membaca mushaf  berulang-ulang. Kemudian kita juga bisa membedakan perbedaan pelafalan antar huruf yang mirip dengan gampang. Pada intinya semua proses menghafal melalui metode ini adalah melatih kesabaran, ketelitian, dan keistikamahan kita dalam menjaga kalam Tuhan.

Setelah kita mengetahui tradisi dan budaya orang Maroko dalam menjaga al-Qur’an, layaknya kita patut mengapresiasi dan mencontoh kegigihan mereka dalam melestarikan tradisi yang luar biasa itu. Kini kita tau resep terbesar yang dimiliki masyarakat Maroko untuk mencetak bibit ulama yang  ada dan dipakai sejak berabad-abad lalu. Dengan demikian kita berharap nantinya di bumi Indonesia akan hadir kembali Ibnu Rusyd versi Indonesia, Ibnu Batutah versi Indonesia, Ibnu Sina versi Indonesia, Syekh Hasan Syadzili versi Indonesia, Ibnu Masyisy versi Indonesia, dan masih banyak lagi ulama asal tanah Maroko yang semoga kita santri Indonesia bisa mencotoh perjuangan mereka dalam syiar agama kita tercinta.