Sudah beberapa waktu yang lalu kita meninggalkan Rabi’ul Awal, bulan istimewa yang di dalamnya lahir makhluk paling mulia. Rabi’ul Awal yang penuh gegap gempita tradisi dan ungkapan bahagia atas lahirnya Rasul Al-Musthafa. Terlebih di bumi pertiwi, yang menjadi negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Tradisi maulid nabi di tanah air sendiri, lebih terasa semaraknya daripada di Negara muslim yang lain. Karena Nusantara memang kaya dengan budaya. Selaras dengan kedatangan Islam di Indonesia yang tertulis pada buku Sejarah Islam Di Tanah Jawa Karya Sri Wantala Achmad, Islam di Nusantara sejak abad 7 Masehi melalui perdagangan dan budaya yang ada saat itu. Dan pada masa perkembangan pesat Islam di Indonesia, lebih tepatnya ketika Wali Songo mengambil peran dakwah di tanah Jawa khususnya. Islam dan budaya benar-benar melebur, dan kita bisa merasakannya hingga kini. Seperti dakwah melalui seni Rebab dan Bonang yang dilakukan oleh Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim) dengan genre suluk. Berikut murid daripada Sunan Bonang adalah Sunan Kalijaga dengan budaya Sekaten (Syahadatain) yang digelar 7 hari sebelum hari kelahiran Nabi. Yang akhirnya budaya itu menjadi wasilah untuk memikat para masyarakat untuk memeluk Islam.

Mengulas tentang maulid Nabi, pertama kali diperingati oleh Nabi sendiri, meskipun bentuk perayakannya berbeda, yaitu Nabi berpuasa di hari Senin. Dalam kitab Haulal Ihtifal bi dzikra al Maulid an Nabawi asSyarif, Abuya Assayyid Muhammad Bin Alawi Almaliki memaparkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah Radhiyallau ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Senin, maka beliau berkata, “Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Muslim). Jadi berpuasa ini masih termasuk dalam lingkup merayakan kelahiran diri beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun bentuknya berbeda akan tetapi arti dan tujuannya tetap sama. Baik dengan berpuasa, memberi makanan, atau berkumpul untuk berdzikir membaca sholawat dan mendengarkan sesuatu yang berkaitan dengan Rasulullah. Membaca siroh (perjalanan) beliau di kitab-kitab maulid. Seperti maulid Adhhiba’I, Simtuth Durror, Adhhiya’ullami’, Burdah, dan maulid yang lain. Semua untuk mengingat Allah dan RasulNya,

Kembali pada tujuan perayaan maulid. Ialah sebagai ungkapan syukur, bahagia, gembira, senang atas kelahiran Rasul. Demikian bersyukur karena menjadi umat Rasul yang dengannya kita mendapat banyak karunia. Apakah salah jika sekelompok manusia berkumpul, kemudian mengungkapkan rasa syukur dan bahagia atas kelahiran makhluk paling mulia. Abuya Assayyid Muhammad juga ngendika, “Tidak pantas bagi seorang Muslim berakal yang mengatakan untuk apa merayakkan maulid nabi, seakan-akan ia mengatakan untuk apa berbahagia atas kelahiran nabi.”

Di sisi lain pada acara-acara maulid, merupakan perantara berkumpulnya umat, dan di situ terdapat suatu kesempatan untuk berdakwah, mengajak, menyampaikan serta menyeru pada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi mungkar). Di samping bahwa maulid Nabi tidak hanya dirayakkan di Rabi’ul Awal saja, akan tetapi kita bisa memperingatinya sepanjang tahun dan kapanpun waktunya.

Memperingati maulid Nabi juga sebagai momen pendorong bagi kita semua untuk konsisten bersholawat kepada Rasul yang demikian dapat menamabah rasa cinta kepada beliau. Sebagaimana Rasul yang terlebih dahulu mencintai kita sebagai umatnya. Dan dalam lingkup cinta yang butuh dengan suatu pembuktian, ketika diri ini telah mencintai Rasul, maka sudah tentu kita harus menghidupkan sunnah-sunnah Rasul. Dari situlah kadar kualitas cinta kita dapat diukur. Karena Rasul adalah sebaik-baik guru yang mengajarkan cinta, rindu, dan setia yang sebenarnya. Selamat belajar menjadi umat Rasul yang taat dalam sahaja .

Oleh: Zahri Hammad. Santri Takhassus, asal Surabaya Jawa Timur.